Seorang kyai berwajah teduh bersorban diam takzim berdoa untuk keselamatan  perjalanan  sepasang suami istri yang mau melakukan perjalanan umrah ke tanah suci di Jeddah, Medinah dan Mekkah. Ia memberi pesan sejuk. Bercerita tentang dirinya.Â
Sebagai ulama dan kyai ia tidak menonjolkan diri malah ia merasa tidak layak disebut Ustadz ( Penceramah, ahli agama ), padahal saya bisa menebak dari aura kharismanya ia sudah menguasai ilmu- ilmu agama dan sudah sampai taraf di mana jika seorang banyak ilmu sudah berisi dan cenderung merunduk dan tidak menonjolkan dirinya.Â
Ia sudah selesai dengan dirinya dan apapun hapalan dan teori- teori agama sudah di luar kepala alias khatam. Ia sudah sampai di mana bacaan dan pengetahuan itu mewujud dalam dirinya dalam kesederhanaannya dan kerendahhatiannya.
Ia ulama yang ditempa oleh waktu, ujian-ujian kehidupan yang membuatnya mengerti bahwa hidup itu penuh cobaan, penuh tantangan dan ujian yang mesti dilalui. Ia sadar akan penyakit yang ada dalam tubuhnya, tidak berusaha melakukan pantang, tidak berusaha menghindari kematian yang sewaktu akan menyambanginya.Â
Kata- katanya sejuk, tertata. Kalaupun harus mengatakan sedikit nyerempet "jorok" itu sesuai konteks dan tidak sampai melecehkan karena yang diucapkan adalah kenyataan sehari hari yang banyak ditemui dan dialami oleh orang- orang. Ia tidak merasa harus sombong memamerkan ilmu agama dalam setiap selipan khotbahnya.Â
Benar- benar sejuk siapapun yang mendengarnya termasuk saya yang bukan seagama yang ikut membantu mengabadikan momen tetangga yang sedang melakukan persiapan umroh esok harinya.
Suatu ketika ia berteriak memaki dan mengatakan jorok orang lain. Ia tidak melihat dirinya ia hanya melihat penampakan ketidakadilan yang dikritik telanjang tanpa tedeng aling- aling. Ia tidak perlu tahu bahwa ada problem jika bicara blak- blakan  dihadapan orang- orang yang bingung dengan segala misteri yang diperlihatkan dirinya.
Kyai yang saya lihat itu seperti mirip Kyai- Kyai tua yang sudah makan asam garam kehidupan, ia sudah merasakan semuanya kesedihan, kesenangan, perasaan galau, marah, berdosa.Orang baik itu yang mampu bisa mentertawakan diri sendiri bukan mentertawakan orang lain. Banyak penceramah masih saja membangga- banggakan diri lupa bahwa ia harus menjadi model untuk menjadi pribadi yang rendah hati.
 Memaki sudah dilegalkan oleh mereka yang kebelet kekuasaan. Saya  hormat dan salut dengan kyai yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Ia akan enak diajak bicara tidak merasa ada di menara gading kesombongan rohani dan intelektual tetapi sebagai teman, sahabat, saudara yang mampu memahami bahasa jiwanya.
Lalu bagaimana dengan penceramah dan orang yang disebut kyai, ulama tetapi kelakuannya masih jauh dari kapasitasnya sebagai penceramah. Mereka lebih senang memberi legitimasi gerakan politik, ikut bicara tentang tokoh politik yang mau diajak bekerja mewujudkan  tim sukses, berteriak kencang menuduh calon lain terlibat dalam organisasi terlarang, bicara tentang kesombongan orang lain tidak menyadari bahwa ia sendiri arogan ketika berceramah, tidak ada tanda- tanda ia merendah untuk mengatakan obyektif tentang kekurangan dan kelebihan orang lain.