Suatu saat di masa lalu ondel-ondel selalu hadir ketika seniman Betawi sedang manggung untuk pertunjukan lenong. Ia hadir dengan segala kemegahannya. Sepasang boneka legendaris itu selalu membuat semarak pertunjukan khas Betawi.Â
Ondel-ondel dengan dengan wajah laki-laki dan perempuan itu mampu menghibur penonton dengan aksi- ksi kocaknya diiringi oleh musik yang melengking memainkan lagu lagu khas betawi semacam Kicir-kicir dan Jali-jali. Biasanya pengiring ondel-ondel adalah tanjidor dengan alat musik seperti kendang, kenong, bas, dan sukong.
Ondel- ondel Sudah Ada Sejak Pra Islam
Menurut sejarah ondel-ondel sudah ada sejak pra-Islam. Di masa itu ondel-ondel adalah simbolisasi penjaga desa dari segala macam ancaman bahaya dan wabah penyakit, baju ondel-ondel (dogdang) terbuat dari kurungan ayam dengan diameter sekitar 1,5 meter dengan tinggi yang bisa mencapai lebih dari 2 meter.
Pengaruh kebudayaan China amat kental dalam musik Betawi. Sejarah mencatat bahwa asimilasi kebudayaan daerah pantai memang tidak bisa dibendung. Pengaruh Jawa, China dan Sunda, Arab dan Ambon amat terasa. Kebudayaan Jawa masuk ketika Prajurit Mataram berekspansi menguasai wilayah-wilayah strategis di masa pemerintahan Sultan Agung.Â
Mereka membawa pengaruh budaya musik seperti gamelan untuk dikenalkan ke orang-orang Betawi yang sudah lama hidup di daerah sekitar Batavia.
Ketika Ondel-ondel Dijadikan Alat Mengamen
Kini ketika zaman berganti dan kebudayaan asli mulai ditinggalkan generasi penerus. Keberadaan ondel-ondel sungguh memprihatinkan. Hanya dengan suara-suara alat musik yang berasal dari tape recorder atau pelantang musik menggunakan flashdisk sebagai memorinya mereka turun ke jalan menyambut rezeki dengan mengamen di jalanan.Â
Tanpa antraksi hanya berjalan mereka memaksa orang-orang menyisihkan rezeki lewat uang recehan dalam kotak kaleng cat yang sudah mereka siapkan. Hanya itu.Â
Gerakan memutar dengan tangan bergerak-gerak sedikit lalu terus melangkah menyusuri gang demi gang, ruko demi ruko dan mencegat orang yang yang sedang mengendarai motor, meminta belas kasihan. Layaknya seperti pengemis mengharapkan rezeki orang yang mau berderma.
Pertunjukan dengan permintaan khusus sudah jarang muncul. Lebih banyak orang yang lebih memilih memelototi televisi daripada menonton pertunjukan lenong secara langsung.
Orang-orang lebih suka menonton orang berdebat atau pergi ke tempat beribadah mendengar khotbah pemimpin agama yang sering menyerempet tentang paham radikal, menjauhkan dengan budaya suntuk dalam memperbesar degradasi budaya dan terlalu terpukau dalam sihir ajaran radikal untuk memecah belah persatuan dan memperkecil peranan budaya.
Di mana-mana poster di sudut jalanan selalu muncul ajakan untuk mengadakan pengajian akbar. Tiada secuilpun undangan tentang pertunjukan lenong dengan gambar ondel-ondel yang menjadi ikon Betawi.Â