Boleh jadi penulis menjadi lebih subyektif bila bicara tentang dua sosok yang sedang bertarung menjadi orang nomor satu di Republik Indonesia tahun 2019. Perang kata- kata, masif hadir di media sosial. Masyarakat terbelah dalam dua kutub dukungan. Yang populer dalam istilah media sosial adalah cebong dan kampret.Â
Cebong untuk pendukung Jokowi dan Kampret untuk pendukung Prabowo. Secara halus banyak cebonger menyindir tentang dosa- dosa Prabowo di masa lalu. Sedangkan Kampreter terus terang lebih sering menyerang fisik, pembawaan Jokowi yang terkesan klemak- klemek, plonga-plongo dan muntahan kata- kata kasar lain yang jarang ditanggapi oleh Jokowi. Jokowi itu media darling, selalu bisa mengerti posisi media dan apapun berita entah negatif dan positif berperan besar terhadap popularitas Jokowi.Â
Bisa dikatakan Jokowi ada karena peran media yang dengan masif memberitakan prestasi Jokowi dalam pemerintahan sejak menjadi wali kota di Solo, lalu gubernur Jakarta hingga akhirnya duduk dipuncak tertinggi pemerintahan di Republik Indonesia ini.
Beda Gaya Beda KarakterÂ
Jokowi dengan gaya blusukannya yang lebih sering jemput bola, bukan mengundang masyarakat tetapi mendatangi masyarakat, mencoba memahami kesulitan rakyat dan menempatkan diri menjadi pendengar yang baik. Bagi saya Jokowi tidak seperti yang digambarkan lawan politiknya. Ada kerja yang bisa diapresiasi, ada progress yang bisa dihitung dengan data- data valid. Meskipun ada kesan Jokowi tidak bisa tegas  menghadapi politikus kutu loncat dan politisi partisan, dalam beberapa hal Jokowi, karena kesan ingin mencari aman itulah sasaran empuk untuk menjadi kartu truf untuk bisa mengalahkan Jokowi.
Strategi Prabowo  lain, Prabowo lebih suka digambarkan tegas dan tanpa kompromi. Boleh dikatakan strategi Prabowo lebih sering mengadopsi gaya pemilihan kata"maaf penuh kebencian". Saking bencinya rekam jejak Jokowi tidak digubris dan apapun yang dilakukan Jokowi akan selalu salah.
Bagi pendukung Prabowo calon presidennya adalah representasi kecerdasan, ahli strategi, direstui ulama dan apapun yang dilakukan Prabowo meskipun untuk menang harus mengusung strategi kampanye negatif lebih baik daripada Jokowi yang sering digambarkan planga-plongo, kurus, tidak bertampang pejabat, perkataannya seperti sontoloyo, Genderuwo, tabok selalu akan ditanggapi dengan upaya serangan mengarah ke fisik.
Pemimpin agama boleh memaki, boleh mengejek dengan telak dan mengatakan banci, itu tidak dilarang agama. Oposisi menuduh Jokowi adalah anak ideologi PKI  yang tidak akan termaafkan di mata agama. Meskipun sudah memilih wakil dari kalangan muslim tetap saja Jokowi cacat di mata para pendukung Prabowo. Ijtima Ulama menjadi pembenar bagi dukungan muslim untuk perubahan Indonesia  yang adil makmur sesuai hukum dan keyakinan yang mereka anut.Â
Dengan politik identitas agama seperti disetir oleh aktor- aktor politik, mereka bisa mengharubiru Indonesia sehingga selalu dikondisikan tidak aman. Aktor politik itu selalu aktif berbicara di forum- forum diskusi dan selalu menyudutkan pemerintahan, terutama Presiden Jokowi yang selalu mendapatkan tumpahan ujaran kebencian. Kebencian dan rasa kesal itu terus hadir menjadi seperti menghilangkan esensi bahwa agama tidak lagi menggambarkan kedamaian tetapi  terjebak dalam dukung mendukung pemimpin yang berorientasi saling melontarkan ujaran kebencian.
Bagi kubu Jokowi Prabowo adalah sosok mantan Jendral yang terkait dengan pelanggaran HAM serius sekitar tahun 1998 ketika akhirnya Orde Baru tumbang. Banyak dosa- dosa politik yang bisa menggambarkan bahwa Prabowo bukanlah pilihan tepat untuk memimpin Indonesia.Â
Prabowo adalah bagian dari Orde Baru, kecenderungan gaya kepemimpinan Prabowo adalah otoriter. Dia juga berjarak dengan media, bukan media darling. Tetapi sejauh yang penulis tahu pendukung Jokowi tidak pernah menyerang dengan ujaran kebencian. Apalagi Jokowi tidak pernah menanggapi serius kritikan dari lawan politiknya.