Teroris Menguji Mental Masyarakat
Entah kutukan apa terhadap bangsa ini ketika teroris terus berkarya menakut-nakuti rakyat. Semakin banyak rumah ibadah, semakin banyak tantangan yang dihadapi. Apakah semakin banyak rumah Tuhan tidak signifikan dengan orang --orang yang tulus berdoa untuk kedamaian bersama. Apakah sebegitu parahnya sehingga untuk mencari surga saja setiap orang harus berkompetisi, berlomba-lomba. Dan dalam perlombaan itu ada yang menggunakan cara curang dengan menghalalkan segala cara yang penting menang.
Kadang jika menuruti syahwat berita emosi manusia tidak pernah surut bahkan cenderung naik. Sebab ketika satu masalah belum selesai, datang lagi masalah lainnya. Ketika ada pemimpin yang terpilih dan tulus bekerja untuk negara sudah dihadang dengan persoalan yang datang dari saudaranya sendiri. Kritik waton suloyo, Kritik waton beda. Dikiranya ketika mengkritik dengan berapi api dengan bibir dimenyor-menyorkan langsung mendapat simpati.
Niat baik itu diibaratkan air kalau sedikit kesegaran itu terasa dan membekas tapi kalau terlalu banyak hanya membuat repot. Manusia semakin banyak berdoa seharusnya semakin tahu bahwa dirinya hanyalah debu yang tidak  ada apa-apanya dibandingkan kuasa Tuhan, Jika hanya debu ya harus tahu diri tidak mengharap lebih dari doa-doa yang mungkin hanya seperti suara angin. Tapi bagi Tuhan sekecil apapun gumam manusia pasti akan didengar. Jadi tidak perlu teriak teriak berdoa karena meskipun hanya bathin yang  berdoa Tuhan sudah mendengarnya. Ketika doa jadi ladang menghujat kepercayaan lain, mengutuk perbedaan lalu apa gunanya doa.
Teroris sekarang dihasilkan dari orang-orang yang rajin melakukan pendekatan pada Tuhan meminta untuk diistimewakan. Merasa paling terberkati. Padahal sehebat-hebatnya debu paling banter hanya membuat mata klilipan, tapi debu yang membadai memang akan menjadi bencana dahsyat. Kenapa harus meneror jika setiap orang apapun agamanya diberi hak sama di mata Tuhan. Kalau kebetulan baju yang dikenakan berbeda tidak harus memaksa untuk memakai baju yang sama.
Menyelaraskan Pikiran, Rasa dan Perbedaan Untuk Kemajuan bangsa
Pernah melihat konser musik? Pernah dengan suaranya?Merdu dan menakjubkan. Bayangkan alat musik yang berbeda-beda itu berbunyi bersama. Saling mengisi dan saling mendukung. Suara yang berbeda itu menjadi satu komposisi manis. Dengan satu konduktor dengan partitur yang sudah ditentukan bunyilah musik itu sebagai komposisi yang menggema yang mampu membuat penonton berdecak kagum dan terbawa suasana, syahdu, ikut terhentak oleh musik yang memberi sentuhan gembira sedih, senang, suka, bersemangat, bersorak sesuai partitur yang disediakan.
Jika ada dua atau tiga bunyi  alat musik tidak selaras dengan, pertunjukan musik itu tentu akan berantakan dan membuat mood  berantakan. Mungkin apa yang dialami bangsa  Indonesia saat ini seperti ini. Konduktor sudah mengarahkan dengan benar. Semuanya sudah dipikirkan. Ada yang setuju, ada yang beda tapi ada dua atau tiga alat musik yang asal bunyi, asal beda. Semuanya menjadi seperti kaleng rombeng karena suara-suara sumbang yang merusak suasana. Sebetulnya sudah ada partiturnya tapi karena merasa ia tidak menjadi bagian dari suara yang berbeda itu ia menciptakan irama sendiri. Bukan fals sebetulnya tapi tidak mau menyatu.
Setiap manusia memang diciptakan  berbeda cuma menghadapi orang yang asal beda itu yang susah. Yang baik menjadi selalu kelihatan jelek. Yang sudah benar tidak benar- benar diakui. Dan ketika muncul kesalahan ia segera teriak lantang. Turunkan! Ganti!
Munginkah Indonesia tengah diuji oleh suara-suara yang #asalbukan dia, #gantisajasudahsudahtidakbutuh dan akan terus begitu tanpa pernah menjadi masyarakat yang dewasa.
Hadapi Terorisme Tanpa emosi