Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jakarta, "May Day", Hari Pendidikan Nasional, dan Polemik yang Tidak Pernah Usai

1 Mei 2018   13:22 Diperbarui: 1 Mei 2018   14:41 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: (KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)

Bermula dari Jakarta yang mengabarkan tentang politik sebagai pusat kegaduhan. Trik politik "jahat dan menyebalkan" rasanya lahir dari ibu kandung bernama ibu kota. Mengapa Jakarta yang notabene pintu gerbang Indonesia menjadi pabrik politik "gila?". Apakah tidak ada lagi sebuah contoh baik bagi pembelajaran politik yang santun dan bermartabat? 

Padahal pusat ekonomi, pusat tata pemerintahan dan tempat-tempat orang pintar berkumpul. Saking banyaknya orang pintar, Jakarta begitu membuat iri daerah-daerah lain. Masyarakat cenderung menganggap mudah mencari makan di Jakarta. Orang-orang pintar dari daerah akhirnya berbondong-bondong ke Jakarta mencari nafkah.

Disamping mencari nafkah para pendatang terus bergulat dalam organisasi kemasyarakatan, membentuk ormas, bergabung dengan partai dan beraktifitas  politik. Di Jakarta para wakil rakyat dari berbagai daerah berkumpul, berbagai proyek besar berskala nasional dan internasional bermula. Pusat perdagangan dan transaksi bisnis, serta banyak peluang usaha datang. Bila beruntung perputaran uang trilyunan tergenggam dan sebagaian kecil dari mereka adalah pengusaha kelas kakap yang mampu mendikte perekonomian negara.

Dari Arena Pameran semacam INACRAFT Jakarta memanfaatkan peluang bisnis (dokumen pribadi)
Dari Arena Pameran semacam INACRAFT Jakarta memanfaatkan peluang bisnis (dokumen pribadi)
Orang-orang pintar banyak berkumpul untuk menangkap peluang bagi kecerdasan mereka yang diperlukan untuk menggerakkan roda ekonomi, politik dan hukum serta pemerintahan. Tetapi di antara orang-orang cerdas berpendidikan tinggi ada banyak yang hilang dari pondasi dasar pendidikan. Moral, etika dan kejujuran yang tergadaikan oleh nafsu berkuasa, nafsu menguasai materi dan nafsu untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai kejayaan.

LIhat saja kegaduhan politik yang selalu muncul ketika pemilihan umum mulai berlangsung. Kampanye-kampaye hitam bermunculan, trik-trik busuk dimainkan untuk membuat lawannya jatuh dimata rakyat. Hampir semua politisi yang merasa kalah jika bersaing secara sehat harus memainkan isu, memproduksi hoax, menggunakan taktik jahat agar lawan politiknya jatuh wibawa dan reputasinya. 

Meme-meme yang saling menyindir, hastag yang menyudutkan pemerintah yang berkuasa, kaos-kaos sindiran yang mulai beredar menjelang pemilihan pemimpin menjadi tolok ukur bahwa politik belum bisa dijadikan andalan untuk mengelola negara secara fairplay dan jujur.

Politik seperti ular beludak, politik seperti penanda bahwa orang-orang pintar itu tidak berbanding sama sisi dengan kedewasaan dalam mengelola tata pemerintahan. Kekuasaan memberi peluang orang-orang pintar untuk mengkianati kebenaran, politik membuat orang-orang yang merasa beriman, beragama, suci mengkianati sendiri ajarannya. 

Dalam waktu - waktu terakhir ini isu-isu tentang partai Allah dan wacana tentang partai Allah bergema sangat kencang. Bermula dari rumah Tuhan ada tokoh intelektual yang memainkan isu-isu politik untuk menggoreng emosi masa /umatnya. Mereka digiring untuk membenci, mempercayai pendapat yang belum tentu benar menurut pribadi masing-masing. Pilihan politik itu adalah hak asasi manusia, tetapi kadang manusia cerdas berilmu tinggi memanfaatkan kecerdasannya untuk menggiring opini massa dengan isu-isu yang  patut dipertanyakan kebenarannya.

Politik memberi peluang untuk berbuat tidak jujur, mengkhianati hati nurani, mengarahkan manusia untuk berbuat bodoh karena lebih mempercayai isu daripada kenyataan. Seharusnya jika ada masalah, ada kesulitan komunikasi antara pemerintah dan rakyatnya dalam memahami kebijaksanaan politisi menjadi juru bicara agar rakyat mengerti maksud dari pemerintah.

 Tidak ada pemerintah yang akan menjebak rakyatnya hidup sengsara, tetapi setiap kebijaksanaan tentu tidak bisa memberi kepuasan semua pihak. Fungsi kontrol politisi adalah mengingatkan, memberi jalan keluar dan bersama- sama melakukan telaah setiap kekurangan yang dilakukan pemerintah. Tetapi jika membabi buta dengan menganggap semua kebijaksanaan pemerintah itu jelek itu namanya sentimen dan mata hatinya sudah terbalut kebencian akut.

Jika wakil rakyat merasa berhak menjelekkan pemerintah dan selalu berseberangan dengan apapun upaya pemerintah untuk lepas dari masalah jangan-jangan itu adalah karma dari kerajaan-kerajaan semacam Singasari, Majapahit yang selalu menggunakan trik untuk menjatuhkan pemerintahan sebelumnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun