Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pernikahan Literasi dan Karya Seni Rupa di Pameran Perempuan (di) Borobudur

24 Februari 2018   15:08 Diperbarui: 24 Februari 2018   15:47 1026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis bersama Pelukis Dyan Anggraini di depan patung Triwikrama (Dokumen Pribadi)

Kemegahan Borobudur sudah dikenal di seluruh dunia. Candi yang dibangun pada masa Kerajaan Mataram Kuno dengan di masa dinasti Syailendra pada masa pemerintahan raja Semaratungga. Pada relief-reliefnya tergambar tingkatan-tingkatan kehidupan manusia.Tangga Karmawibangga  terdiri dari 160 panel  relief merupakan khamadatu yang menggambarkan nafsu manusia.tingkatan selanjutnya adalah Rhupadatu yang melukiskan wujud  terdiri dari 1300 panel.dalam panel relief ini ada pembagian bab lagi dari peristiwa kehidupan Sang Budhalalitavistara, Jataka, awadana, gandawyuha dan bhadracari. Bagian terakhir atau puncak di sebut Arupadatu yaitu tidak berwujud atau serupa dunia sunyi hening meditatif.

Susunan bangunan yang terancang rapi dan megah itu kelak beribu-ribu tahun kemudian menjadi pusat peribadatan umat Budha terbesar di dunia. Menjadi tempat berakhirnya prosesi umat Budha saat Waisak Tiba. Dari Candi Pawon atau sebermula dari Candi Mendut, melangkah kaki melewati jembatan yang dibawahnya mengalir sungai besar yang sumbernya berasal dari gunung Sumbing, berkelok-kelok membelah lembah menuju pantai Selatan Jawa atau Laut Kidul. Sungai Progo namanya.

Candi Borobudur adalah lambang kemegahan arsitektural Jawa. Susah membayangkan ada perancang bangunan sekarang bisa membangun candi besar dengan tatanan batu dan relief yang sempurna. Tapi itulah kenyataannya. Pada zaman dahulu Borobudur bisa terbangun dan bisa bertahan beribu-ribu tahun samapai sekarang. Borobudur menjadi salah satu anugerah bagi dunia menjadi salah satu keajaiban dunia.

Relief-relief Borobudur bisa berbicara banyak tentang aktifitas masa lampau terutama kehidupan perempuan, Dyan Anggraini mencoba memahami kiprah perempuan dalam relief candi, tentang hubungannya dengan nafsu manusia, relasi dengan Shidarta(dia yang telah menemui takdirnya), pergolakan perempuan waktu Sidharta berusaha keluar istana Ratu Maya (Ibunda Sang Budha), Prajapati (kakak Ibunya yang juga diperistri oleh ayahnya , Raja Suddodhana), putera-putera dewa,  pelayan Ratu Maya, dan perempuan --perempuan cantik yang  berusaha menggoda Sidharta agar tidak meninggalkan istana dan kerajaan.Dyan Anggraini lalu mencoba menelisik kehidupan perempuan di sekitar Borobudur. Ia(Dyan ) ingin melihat bagaimana perempuan-perempuan sekitar Borobudur berkiprah hingga akhirnya terbentuk candi semegah itu.

Feeling The soothing Touch 2017 Oil on canvas (120 to 90 cm) .doc.pri
Feeling The soothing Touch 2017 Oil on canvas (120 to 90 cm) .doc.pri
Beberapa lukisan Dyan mencoba menggambarkan rekam jejak perempuan yang kadang tidak diperhitungkan sejarah. Kesunyian pekerjaan perempuan yang terlihat ringkih, lemah di mata lelaki ternyata menyimpan ketangguhan. Perempuan ternyata adalah pekerja keras, sering menjadi tulang punggung keluarga saat laki-laki suntuk berada di luar rumah. Di desa Klipoh misalnya perempuan-perempuan di sana menjadi perajin gerabah. Dalam senyapnya pemberitaan ternyata peran perempuan tidak bisa disepelekan. Itu yang  ingin dipotret Dyan melalui lukisannya.

Dyan yang secara sosok terlihat rapuh,saat penulis ingin minta foto bersamanya dan mencoba mewawancarainya ia berujar. "Silahkan berkeliling dulu mas melihat pameran, saya itu tidak kuat merasakan dingin ruangan dalam waktu lama."

Dyan lahir di  Kediri, Jawa Timur pada 2 Februari 1957. Ia besar oleh pengaruh pendidikan Taman Siswa, menyelesaikan pendidikan seninya di STSRI"ASRI" Yogyakarta  tahun 1982. Dyan pernah menjadi Kepala Taman Budaya  Yogyakarta(TBY), beliau adalah pegawai negeri di Dinas Kebudayaan Yogyakarta. Selama memimpin TBY ia sempat menjadi pemrakarsa lahirnya majalah Seni Budaya Mata Jendela, memfasilitasi lahirnya yayasan Biennale yang mengampu penyelenggaraan yang sudah berlangsung 28 tahun, membangun museum Kolong Anak Tangga, dan memprakarsai event tahunan  Pasar Kangen Yogjakarta.

Lukisan Dyan  terdiri dari lukisan yang dibuat dengan teknik cetak, seperti teknik cukil grafis, menyulam. Beberapa lukisannya menggambarkan tentang drama kehidupan perempuan dan sejumlah relief-relief yang dikombinasikan dengan  imajinasi Dyan terhadap narasi lirih perempuan. Landung L  Simatupang melengkapinya dengan sajak-sajak yang memukau mata dan lukisan liris.

Banyak lukisannya menggambarkan keterdiaman perempuan(mulutnya ditutup dengan kain. Menurut amatan penulis itu mungkin pertanda bahwa suara dan pendapat perempuan zaman itu jarang didengar. Kiprah perempuan  senyap  sebetulnya, tapi apapun pekerjaan perempuan tidak bisa dipandang enteng. Ketangguhan perempuan Klipoh sang perajin gerabah digambarkan Dyan dengan lukisan plus sajak-sajak Landung yang mengiiris bathin. Rena/Rena, Bunda/Yang terbisu dikepung deru/yang terbungkam  di riuh zaman/yang menahan , yang menyimpan,yang menelan,yang memendam yang setia merawar seroja/memberi dalam nyanyi sunyiBundaRa Ina

Gedung A Galeri Nasional Indonesia di Jalan Medan Merdeka Timur no 14 sore itu dingin menggigit, hujan rintik menderas membuat ngilu badan, ruang remang berpadu dengan lukisan relief Dyan yang dominan putih, disambut dengan  patung Tiwikrama dengan topeng-topeng meringis. Wajah kemarahan sang prabu Kresna yang bertiwikrama menjadi raksasa wujud Wisnu ketika marah luar biasa.

Penulis bersama Pelukis Dyan Anggraini di depan patung Triwikrama (Dokumen Pribadi)
Penulis bersama Pelukis Dyan Anggraini di depan patung Triwikrama (Dokumen Pribadi)
Kurator Pameran Suwarno Wisetrotomo dalam tulisannya di buku katalog mengatakan Dyan Anggraini   disamping membuat karya dwi matra ia juga membuat karya trimatra. Karya instalasinya berjudul jerit di Bawah Kulit  (2017) dan Ganggu menjadi daya ganggu yang kuat. Karya instalasinya menarasikan peniti besi besar yang menggantung seperti jemuran baju, peniti itu menggelantungkan kutang, baju, kaos, kain lurik dan berbagai kain.peniti mempunyai arti jarum penyemat, pengelat, biku atau pin yang digunakan untuk keadaan darurat, misalnya untuk menyambung dua bagian yang terputus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun