Duh, sebenarnya apa maunya sih gubernur baru ini, konsep bagus dari gubernur sebelumnya diacak-acak, sekarang malah melontarkan wacana untuk mengembalikan becak untuk transportasi ramah lingkungan di sekitar kompleks perumahan dan daerah-daerah seperti perkampungan padat penduduk. Pengamat transportasi menilai apa yang digagas Gubernur itu suatu kemunduran.Â
Di saat teknologi semakin canggih dengan transportasi "online", pemikiran Retro Gubernur ini membuat pusing sebagian warga yang ingin Jakarta menjadi kota metropolitan yang mengutamakan kecepatan, kenyamanan, kemacetan yang terurai dan mendapatkan fasilitas transportasi publik yang terintegrasi. Jakarta ingin mengadobsi Yogyakarta, mengadopsi daerah-daerah kantong wisata retro, vintage yang masih kuat akar budaya dan tradisinya atau kota-kota di negara yang kuat mempertahankan tradisi dan bangunan- bangunan tua.
Apakah Jakarta memang cocok dengan konsep retro, sementara masyarakatnya membutuhkan kecepatan untuk bergerak dari satu tempat satu ke tempat lainnya. Jika becak kembali masuk ibukota apakah sudah dipikirkan matang-matang dampaknya bagi kecepatan masyarakat yang seharusnya menjadi mindset orang kota untuk mencapai target finansial dan pola berpikir ke depan yang mau tidak mau membutuhkan transportasi cepat dan modern.
Kemunduran atau Visioner?
Bisa jadi pemikiran Anies bagi sebagian warga bisa dimaklumi dan disyukuri, mereka yang memaklumi dan mengamini pemikiran Anies tentu berharap becak bisa mengobati rasa kangen mereka pada suasana Yogyakarta, Brebes, Tegal, Purwokerto dan daerah-daerah yang masih memakai becak sebagai transportasi rakyat.Â
Jakarta sebagai kota urban adalah Jakarta yang mendengar  jerit penderitaan kaum urban yang kebetulan tidak beruntung berbagi kue kekayaan  dengan kaum etnis .  Keuletan dan perjuangan mereka (etnis tertentu) mampu meraih posisi perekonomian lebih baik.  kebetulan juga ternyata mereka minoritas dalam hal keyakinan.
Ada orang yang dengan isengnya menggoreng ketimpangan sosial itu untuk dijadikan senjata mengobok-obok kenyamanan dan ketentraman Jakarta. Sebut saja para politisi yang ahli dalam strategi memecahbelah suara rakyat.Â
Dengan mengusung isu-isu sensitif maka ia bisa mengendalikan masyarakat dengan isu-isu tersebut dan sebagai masyarakat yang masih mengandalkan public figure, tokoh yang diidolakan, tokoh yang dijadikan tolok ukur dalam memilih pemimpin dengan embel-embel santun, sopan, baik hati, suka beramal dan rajin berdoa satu agama akhirnya mengorbankan syarat lain tidak korupsi, tidak makan uang rakyat. Jujur.
Pemimpin yang galak, pemimpin yang reaksioner, pemimpin yang tidak mau kompromi tersingkir karena tidak cocok dengan adat ketimuran yang mementingkan "keberadaban" dan tingkah laku lembut. Pertanyaannya, apakah Jakarta cocok jika dipimpin oleh orang yang lembut dan terlalu peka untuk selalu mencoba mengakomodasi kepentingan, suara-suara masyarakat yang menginginkan ini dan itu tidak ada habisnya?
Penulis menjadi semakin merasa bodoh melihat situasi sekarang ini, ketika Anies dan Sandi sering melontarkan ide nyeleneh seperti rumah lapis, Jalan yang ditutup hanya untuk memberi kesempatan PKL berdagang, Jalan protokol(Sudirman- Thamrin) yang kembali membolehkan motor lewat, Monas yang dibuka gerbangnya agar rakyat, PKL, siapapun bebas keluar masuk termasuk menginjak-injak rumput yang dengan susah payah ditanam oleh dinas pertamanan.Â
Gubernur yang ngotot ingin mengembalikan uang HGB di proyek reklamasi Teluk Jakarta, serta kengototan Anies untuk memperkarakan Sumber Waras. Padahal banyak tugas gubernur yang seharusnya secepatnya direalisasikan untuk mempercepat penyelesaian masalah kemacetan, mengurai benang kusut birokrasi yang penuh dengan konflik kepentingan dan budaya korupsi yang susah dihilangkan.Â