Tidak dipungkiri banyak orang Jakarta terutama yang terpelajar dan merasa mempunyai impian masa depan tentang Jakarta, terhenyak dengan ide Anies Baswedan Gubernur Jakarta periode 2017-2022.Â
Masalahnya ide Anies itu datang ketika Jakarta baru saja tercabik-cabik dalam isu-isu SARA yang membuat masyarakat terbelah antara yang mendukung "fanatisme kelompok" dan Pemikiran visioner ke depan. Yang mendukung fanatisme kelompok mungkin terjebak dalam faksi, politik dan cita-cita berdasarkan kesamaan idelogi dan agama.Â
Kelompok ini mempunyai cita-cita untuk mengubah wajah lama Jakarta yang sudah berbau"aseng, asing dan sosialis, menjadi kota yang penuh dengan aktifitas keagamaan, santun, dengan ormas-ormas "pribumi" yang lebih dominan menggerakkan roda pemerintahan dan penguasaan ekonomi.Â
Kota diarahkan untuk menampilkan keramahan ketimuran yang kental, namun agak tercoreng dengan pemahanan keagamaan yang cenderung fanatik sebab dalam perhelatan pemilihan kepala daerah kemarin jargon Pribumi, penistaan agama, keberpihakan pada wong cilik mampu menjungkalkan, pemikiran modern; rapinya organisasi, aturan yang tegas, kerja keras birokrat dan transparansi dengan penerapan e-budgeting, dan keterukur an sehingga meminimalisir munculnya birokrat nakal yang memanfaatkan jabatan untuk Korupsi. Kesantunan mengalahkan blak-blakan tanpa tedeng aling-aling meskipun kesantunan kadang berbalut kemunafikan.
Anies Baswedan- Sandiaga Uno, Gubernur dan wakil Gubernur terpilih seperti mementahkan semua rencana gubernur sebelumnya tentang konsep SMART CITY. Hampir semua program tinggalan Ahok dan Djarot direvisi, bukan karena jelek tapi semata-mata ingin menghilangkan jejak Ahok dari pemerintahan Jakarta.Â
Tapi itu hak gubernur terpilih, mereka mempunyai skala prioritas sendiri tentang bagaimana merekayasa Jakarta sebagai metropolitan menurut mau mereka. Kalau Ahok mempunyai konsep untuk mendekatkan Jakarta dengan Kota-kota modern dunia, penulis merasa Anies mempunyai nostalgia masa lalu yaitu dengan membawa Jakarta pada kenangan ketika becak masih hilir mudik di jantung republik ini.Â
Ia ingin abang-abang becak dan buruh-buruh, rakyat miskin kota berbahagia karena kembali memperoleh ruang hidup dengan moda disesuaikan dengan kantong "kaum jelata".Â
Becak adalah alat transportasi berbasis tenaga manusia, tidak memakai bahan bakar dan cukup dengan modal betis dan genjotan yang kuat. Jalannya pun pelan sehingga bisa menikmati suasana kota dengan segala keruwetan jalannya.Â
Barangkali dengan menyesap keringat abang becak dan melihat tetesan keringat yang mengalir di sekujur tubuhnya orang-orang Jakarta kembali merasakan Jakarta yang retro, atau anggaplah seperti mode pakaian yang bisa putar balik ke era-era sebelumnya.
Jakarta yang berpihak pada wong cilik
Sebagai warga yang lumayan bodoh saya mesti berpikir keras untuk memahami rasa kemanusiaan gubernur dan wakil gubernur. Bahkan kadang dengan sombongnya bersama teman diskusi penulis memandang sinis tentang segala kebijaksanaan gubernur baru.Â