Jakarta Mengejar Singapura
Jakarta dua tahun lalu bagi saya tengah menggeliat untuk mengikuti  perkembangan kota-kota besar di dunia. Jakarta sedang menuju pada konsep SMART CITY dan metropolitan yang "agak galak" pada aturan. Boleh jadi gubernurnya galak dan tidak berkompromi untuk sekedar meninabobokkan rakyatnya dengan apa yang dimaui rakyat. Tidak berusaha membahagiakan rakyatnya dengan membolehkan para pedagang kaki lima bebas berjualan di trotoar, bahkan mengokupasi jalanan sekedar untuk menyenangkan pedagang kaki lima.Â
Jakarta tampaknya begitu mengkawatirkan terutama bagi negara tetangga yang mengandalkan konsep metropolitan yang nyaman, bersih, penuh aturan dan disiplin. Jangan-jangan Singapura pun sedang  dag dig dug menyaksikan perkembangan Jakarta yang sedang di bawa sebagai kota modern.
Sebelum "goro --goro" demo berjilid --jilid dan berbagai kasus "penistaan agama" Jakarta tengah merancang  diri sebagai kota masa depan yang lebih menonjolkan peradaban kota, lingkungan  bersih dengan sungai-sungai yang rutin dikeruk dan tanggulnya diperbaiki.Â
Masyarakatpun dididik untuk sadar bahwa sebagai kota Metropolitan perlu menyesuaikan diri sebagai manusia modern yang taat sistem, taat aturan dan disiplin. Karena dengan taat aturan, disiplin, terukur maka untuk menjadi manusia modern menjadi lebih mudah. Singapura boleh jadi tempat yang menjadi impian manusia modern, manusia yang terbentuk oleh perangkat sistem yang sudah ideal.Â
Masyarakatnya sudah disiplin untuk melaksanakan aturan yang ada, sangsi ditegakkan yang melanggar didenda dan kecil kemungkinan ada celah untuk melakukan korupsi, kolusi. Kecerdasan kota adalah bahwa semua aturan itu diciptakan untuk menciptakan keteraturan, menghindari kesemrawutan dan mewujudkan  rasa nyaman bagi orang yang terbiasa hidup dalam keteraturan. Singapura mungkin bukan kota agamis yang semuanya diukur dengan tolok ukur ketaatan pada hukum agama.Â
Singapura bukan kota yang ramah dengan kebebasan melakukan kegiatan keagamaan, namun kota Singapura netral  sebab pembatasan terhadap aktivitas agama itu berlaku untuk semua tidak diskriminatif. Mereka tidak mentolerir adanya ormas radikal yang lebih sering melanggar aturan negara daripada taat dalam jalur hukum yang berlaku.
Ternyata banyak orang terutama pejabat yang sudah terlanjur adem ayem menikmati kemudahan dalam hal apapun belum siap mengubah diri, belum siap mental untuk berubah.Â
Jakarta masih merindukan sebagai kota berbahagia yang masih bisa menikmati kuliner kaki lima yang berjejer di trotoar. Meskipun trotoar tersedia, mereka lebih senang naik motor, sebab ke mana-mana cepat kalau perlu menerobos lampu merah dan melawan arus. Itulah kebahagiaan warga Jakarta. Jangan-jangan jika Jakarta seperti Singapura angka stress tinggi dan banyak kasus bunuh terjadi.Â
Sekarang boleh jadi dengan adanya pemimpin baru sebagian warga yang tidak ingin melihat Jakarta seperti kota-kota besar modern dunia semakin tekun berdoa, bahkan ruang publikpun bisa digunakan untuk  tempat berkumpul dan berdoa bersama.Jangan khawatir rumput yang semula tidak boleh diinjak demi kebahagiaan warga maka  dipersilahkan digunakan untuk, duduk, pacaran, menggelar acara makan-makan, main sepakbola dan membuka lapak bagi pedagang asongan untuk mengais rejeki.