Sebagai pembaca saya benar-benar menikmati kolom Kompas minggu Udar Rasa. Entah ada semacam chemistry terhadap apa yang dirasakan Bre Redana ketika mengulas tentang fenomena bangsa Indonesia. Dulu masih ingat saat mengulas tentang fenomena senjakala media massa seperti koran yang tergantikan oleh media digital. Sangat dalam ulasannya.Â
Rasanya artikel tersebut selalu terngiang-ngiang dalam ingatan. Bagi pembaca yang menikmati bacaan hanya sebagai hiburan, pengisi waktu dan membunuh kebosanan sunguh susah mencerna tulisan-tulisan Bre Redana. Tapi bagi pembaca yang senang membaca dan menyukai bacaan-bacaan mencerahkan yang harus mencerna bacaan dengan kedalaman jiwa rasanya Bre Redana bisa menjadi referensi meningkatkan kualitas menulis.
![Kolom Udar Rasa (dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/01/09/p-20180109-172545-1-5a549a29cf01b47ac62875c4.jpg?t=o&v=770)
Maka Bre Redana (Don Sabdono, lahir di Salatiga 27 November 1957) mencuplik kata kata ramalan Jayabaya: akeh janji ora ditetepi/akeh wong wani nglanggar sumpahe dewe/manungsa pada seneng nyalah/dst (banyak janji tidak ditepati, banyak orang berani melanggar sumpah sendiri/manusia menyukai berbuat salah/dst).
Peradaban manusia terbentuk oleh memori dan diwujudkan dalam kata. Lebih lanjut Bre menyoroti tentang perubahan budaya masyarakat dari budaya literasi kemudian bertranformasi ke budaya digital. Jika pengembangan literasi, membaca buku menimbulkan pemikiran inventif maka sejak revolusi industri dan kecanggihan produk digital dipaksa untuk cepat berpikir. Budaya zaman now, istilahnya, merespons sesuatu yang tidak nyata(maya). Anak-anak zaman sekarang lebih menikmati dunia selfie, pencitraan sepanjang hari.
Bre Redana sampai --sampai harus menyampaikan bahwa fenomena perang komentar di media sosial tentang salah-salah sekali, benar-benar sekali adalah akibat dari penikmatan dikotomi benar salah yang ekstrem yang berujung pada citra agama sebagai pemantik perdebatan. Konsep surga --neraka yang masih abstrak terus diperbincangkan dan salah benar menjadi perdebatan yang tidak ada habisnya.
Orang jujur susah bergerak
Orang-orang baik yang ingin membenahi carut marut masalah ketatanegaraan, menjadi keder mereka dihadang orang-orang yang memanfaatkan situasi mengambang untuk menyelamatkan dirinya tetap hidup dalam kekuasaan, kelimpahan harta benda, kenyamanan menikmati fasilitas dan korupsi berjamaah yang terlanjur membudaya.
Pemimpin jujur dengan rekam jejak baik pun saat ini dicari-cari kesalahannya. Banyak orang menjebaknya untuk masuk dalam perangkap politiknya hingga seorang yang benar-benar tulus berjuang demi negara harus tersuruk terpuruk karena berita hoaks, serta ujaran kebencian yang masif berseliweran di tengah masyarakat. Tentunya para pelaku yang merpoduksi ujaran kebencian itu tahu perilaku masyarakat yang masih labil, gampang terombang-ambing isu dan mudah terpukau oleh kata-kata yang menyihir.
Panutan menulis
Bre Redana (panutan menulisnya adalah Umberto Eco, yang bisa menjelaskan masalah yang ada di masyarakat dengan sangat bagus dan disampaikan dengan cara ringan). Menutup kolom dengan mencuplik Ramalan Jayabaya juga: wong-wong apik podo kepencil/wegah nyambut gawe/luwih utomo ngapusi (banyak orang baik tersingkir/tidak mau bekerja/lebih utama berbohong).
Membaca kolom Bre Redana penulis seperti melihat diri sendiri dan orang-orang politik sekarang ini memang cenderung mencari selamat. Semoga kaum melenial, generasi zaman Z tidak terjebak dalam politik pencitraan yang terjebak dalam arus politik kotor yang haus kekuasaan dan cenderung korup. Mata dunia melihat Indonesia masa mendatang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI