Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Bisakah Menulis Tanpa "Emosi"?

21 November 2017   09:14 Diperbarui: 21 November 2017   09:20 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sehatsangat.blogspot.com

Jika ada orang-orang menulis komentar dengan emosi, cenderung subyektif dan kesannya menggurui serta menghakimi apakah bisa disebut karya tulis?. Apakah artikel yang isinya subyektif dan cenderung menulis berdasarkan perasaannya  sendiri bisakah disebut tulisan "berkualitas", atau hanya tulisan "sampah" meski dengan sesak nafas dan berat hati membacanya. Terus terang ketika bicara subyektif  "saya menilai tulisan  anda terlalu tendensius, hanya mengikuti emosi, kurang riset hanya opini belaka kurang factual". Artikel sampah meskipun populer karena banyak viewer yang meliriknya.

Pembaca terkecoh dengan judul, dengan kata-kata yang menimbulkan penasaran. "Oh ternyata tulisan populer hanya begini tho...?!"

Apakah menulis itu hanya teruntuk bagi mereka yang benar-benar suka membaca, suka melakukan riset, suka melakukan klarifikasi, suka membuat analisis terhadap artikel yang akan tayang di media online. Penulis yakin jika menulis di Koran akan ada tahapan editorial agar tulisan yang akan dibaca jutaan orang itu layak dibaca dan ada manfaatnya membaca artikel yang telah terpublish.

Ada yang bertanya:"Kalau menulis menunggu hasil riset, menunggu inspirasi datang dengan membaca buku-buku atau majalah koran yang penulisnya sudah tidak dibisa diragukan lagi kapan prakteknya?Orang tentu harus yakin bahwa tulisan yang dibaca itu mengandung pesan pengetahuan, pesan factual, dan dorongan positif untuk bergerak maju. Tapi hanya berteori dulu tanpa praktek sama saja bohong "

Lalu bagaimana menjawab pertanyaan tadi?

Bagi penulis pemula, yang perlu ditumbuhkan motivasinya adalah meyakinkan, sepenuh hati  berani mengirimkan ke redaksi meskipun akan sering ditolak. Jika  konsisten suatu saat keberuntungan dan buah ketekunan akan membawa hasil. Penulis pemula tidak usah takut dengan kualitas penulis senior. Anggap saja sebagai tandem yang saling melengkapi dan memberi spirit. 

"Kenapa banyak tulisan cenderung memihak,  subyektif dan emosional?" Ada yang menilai bahwa tulisan yang memihak itu sah-sah saja apa yang aneh, toh tidak bisa membantu? Toh tulisan itu hanya di blog yang tidak perlu riset dan pemikiran matang dalam memilih kata-kata dan . Tapi sebagai blogger apakah hanya seenaknya sendiri dalam menulis tanpa data yang  jelas .tidak khan?!. Sebagai bloggerpun perlu belajar, membaca, menganalisa, mengendapkan lalu baru menulis. Bagi saya menulis adalah berkata-kata, menulis adalah menyumbangkan pikiran, bukan ingin  menggurui tapi sharing, menularkan pengalaman. Saya pikir setiap orang mempunyai pengalaman.

Untuk menjawab pertanyaan kenapa banyak tulisan cenderung memihak, penulis perlu berhati-hati menjawabnya. Setiap tulisan itu lahir dari pemikiran, opini pribadi dan hasil membaca. Jika yang keluar adalah cenderung subyektif itu adalah wajar apalagi jika tulisan ditayangkan di blog yang tidak banyak sensor dan saringan. Segala opini akan banyak mewarnai  blog. Itu tanggungjawab pribadi penulis. Penulis yang dewasa tentu akan menimbang, memilih opini yng tidak menyinggung  pembaca dan bijak dalam melilih kata-kata agar tidak vulgar dalam menyentil  masalah- masalah yang sedang tren.

Menulis dengan mengedepankan ketenangan, bukan "emosi" itu adalah harapan semua pembaca. Tapi banyak juga sih pembaca yang suka dengan bacaan populer, terutama yang bersinggungan dengan politik. Bukan karena membaca artikel berkualitas tapi semata- mata artikel yang mengaduk-aduk emosi, yang menyentuh titik didih emosi hingga akhirnya berjubel komentar(kasar, jorok, kurang, bermuatan sara, asal beda) di bawah tulisan artikel tersebut. Di Indonesia artikel-artikel  yang laris dilirik dan dibaca adalah artikel yang membahas tentang polemik politik, gosip-gosip artis, penyimpangan-penyimpangan sosial, dan cerita lucu-lucuan. Untuk bacaan berat semacam cerpen, novel, puisi, filsafat, ilmu pengetahuan maaf jangan sakit hati jika yang respon dan membacanya secara serius hanya sedikit.

Di media sosial banyak judul yang kontroversial akan memantik perdebatan, padahal tidak semua orang membaca keseluruhan artikel tersebut. Polemik   timbul hanya karena emosi karena merasa tersinggung dengan berita yang hanya setengah-setengah dibaca.

Saya ingin menasehati diri sendiri jangan komentar atau menulis saat kamu emosi. Jangan  hanya membaca judulnya tapi baca keseluruhan artikel atau opini jika kamu ingin menanggapinya(bathinku menjawab" Ya, saya coba, tapi tidak janji ya")...Nah lho ternyata sebagai manusia emosi lebih dominan daripada mengedepankan  kejernihan dalam berpikir. Tugas saya untuk belajar mengendalikan emosi, anda pembaca punyakah pengalaman seperti saya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun