Kabut menyelusup di antara rumah-rumah penduduk. Dingin menusuk tulang , rumah-rumah itu seperti terangkat di tengah awan, kabut pekat, sementara suara samar gamelan  berbaur bersama senja yang  sunyi. Aku menikmati suasana ini ketika beberapa hari singgah dan menginap di salah satu penduduk di Mranggen Kidul, Kecamatan Bansari. Sebetulnya aku tidak secara khusus datang dengan kapasitasku sebagai penulis, aku bekerja dan melaksanakan tugas pekerjaan sebagai guru yang harus mendampingi anak live in. Pekerjaan banyak dan kami guru-guru pendamping mesti mengecek dan memastikan bahwa anak-anak suka dan tidak merepotkan orang tua asuhnya selama beberapa hari.
Proses dari menanam sampai dipanen, dijemur, dikemas dan dikirim ke pengepul butuh waktu lama. Perjuangan yang amat berat itu akan terbayar jika hasil tembakaunya bagus dan harga jualnya layak. Mereka akan sangat terpukul jika cuaca yang tidak menentu membuat kualitas tembakau menurun dan akhirnya  modal dari hutang  pedagang tidak bisa menutup hutang-hutangnya. Mereka mesti memutar otak lagi untuk mengembalikan modal yang tidak sedikit untuk menghasilkan tembakau yang berkualitas super.
Kesibukan itu aku lihat dan kekaguman bertambah ketika siang malam mereka bekerja keras agar target tercapai. Petani adalah orang pertama yang berjasa tetapi lingkaran kehidupan kaum petani jawa tetaplah menempatkan petani sebagai pelengkap penderita. Jika harga jatuh bisa jadi petani yang capai melalui proses pengerjaan sampai panen gigit jari tanpa sepeser uangpun mereka kantongi. Yang tetap untung adalah pedagang, pengepul, grader yang mempunyai wewenang mempermainkan harga. Kehidupan di Sindoro adalah cerita suka cita, duka lara petani. Jika mereka berhasil maka pesta besar akan dilakukan berhari-hari, tapi jika gagal maka tangisan pilu hadir meskipun kadang tidak terungkapkan karena mereka bisa menghadapi kegagalan dengan tetap tersenyum dan selalu ramah jika harus menjamu pendatang.
Mereka tidak mengenal isu-isu yang berhembus di media sosial dengan dikotomi agama dan perbenturan-perbenturan  kekuatan lainnya.  Adalah tugas mereka untuk hidup rukun meskipun dalam suasana perbedaan. Local wisdombegitulah kira-kira istilahnya. Kalau ada perbenturan, adu mulut bahkan tawuran sekali-sekali memang ada tapi tidak menjadikan sebagai  cara untuk memecah- belah masyarakat. Bagiku mereka adalah contoh bagaimana harus menerima budaya baru, kebiasaan baru dari siapapun pendatang yang bertamu dan menginap.Â
Betapa mengagumkan suasana  kehidupan pedesaan dengan segala keunikannya. Penduduk yang ramah, menerima, tetapi bukan berarti ketinggalan jaman. Lihat saja-rumah-rumah mereka, hanya sedikit yang dibangun seperti  halnya kampung --kampung kumuh di perkotaan. Kaya miskin memang ada tetapi tidak perlu ditunjukkan segala perbedaannya.Â
Aku merasakan banyak bangunan yang telah mengalami sentuhan modern, bahkan ada yang mirip istana kerajaan saking besar dan mewahnya. Â Beberapa dari mereka mempunyai kemampuan bermusik yang tidak kalah dengan orang-orang kota. Bahkan levelnya sudah harus diakui bertaraf nasional bahkan internasional.Â
Ada generasi penerus yang sudah bergelar Profesor Doktor, pelajar berprestasi, penari, MC Kondang. Kehidupan yang terus bergerak, teknologi yang cepat  dan semakin canggih terus diikuti mereka dan pelan-pelan kehidupan terangkat. Mereka kuat menahan gempuran  masalah, kegagalan, tekanan dan ujian-ujian kehidupan, dan dengan lokal wisdom itu mereka menyambut tantangan dengan tetap tersenyum ketika kami datang.
Bersama Sunrise yang mempesona di sepanjang jalan  ketika siang mulai merangkak aroma tembakau semakin terasa. Seperti parfum yang terus dihirup paru-paru dan bau itu terus membekas di pusaran hidung manusia yang pernah mampir dan merasakan suasana kehidupan di Sindoro. Mungkin saja di lereng gunung lain juga ada persamaannya tapi pengalaman di Sindoro tetap terbawa sampai ke kota dengan  deretan visual alam yang indah, serta kekayaan jiwa yang semakin komplit ketika bergaul dengan penduduknya yang ramah dan tulus.
Dari Parakan desa Mranggen Kidul, Malatan , Magersari kurang lebih  bisa ditempuh  sekitar 15 menit. Ada angkutan  yang menghubungkan  desa itu dengan kota Parakan. Di sekitar situ terdapat situs Candi Liyangan, Mata air Jumprit, Mata air Cidengok, dan hutan lindung yang banyak ditanami pepohonan , kopi jenis arabika dan Robusta. Salah satu yang aku kenal adalah Pak Giyar (Giyanto, 69 tahun) sesepuh desa Mranggen Kidul, Pak Giyar dipercaya untuk mengelola tanah sekitar setengah hektar di hutan lindung Desa Mranggen Kidul.