Rangkaian isu/hoax datang bak banjir bandang. Jakarta dan Indonesia saat ini terkepung isu. Sekarang entah mana yang benar dan salah susah membedakan. Di satu sisi ada yang menyebut hoax dari bumi datar, di sisi lain dari barisan kotak-kotak. Dunia maya memainkan perang dan menjadi tokohnya adalah Versus. Siapa melawan siapa melawan siapa, kebenaran siapa melawan kebenaran siapa, agama siapa melawan agama siapa. Siapa pribumi asli melawan pendatang asli. Keturunan siapa melawan keturunan siapa. Dan puncaknya Tuhan siapa melawan Tuhan siapa.
Semua dipertentangkan, semua dihadap-hadapkan sehingga perbedaan yang seharusnya menjadi cermin keberagaman menjadi pemicu perpecahan. Kebinnekaan yang menjadi kebanggan bangsda tercoreng karena berbagai teror datang untuk mengacaukan harmoni yang dulu terbangun indah.
Manusia lebih mementingkan simbol, bendera, etnis, suku bangsa, agama dan ideologi, bukan lagi berpikir bahwa setiap perbedaan itu keniscayaan, sebuah anugerah untuk disyukuri dan diterima dengan keleluasaan hati., toleransi. Ideologi, agama akhirnya menjadi penyekat dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang bermartabat jika bisa saling menolong dan saling membantu. Setiap orang punya kecenderungan saling menolong sebab tidak ada manusia yang terlahir sempurna.
Akhir-akhir ini karena kontestasi Pilkada, peristiwa demokrasi, ajang kontestasi politik masyarakat terpolarisasi. Mereka yang terbelah dalam satu sisi kebenaran menurut bla bla bla dan kebenaran absolut bli bli bli klaim kelompok satu adalah semangat primordial. Yang menang masih mempermasalahkan yang kalah, yang kalah masih merasa sakit hati dan merasa tercurangi. Pilkada terutama di Jakarta telah meyakinkan orang ternyata demokrasi Indonesia masih perlu belajar untuk meletakkan sportifitas di atas kepentingan kelompok atau golongan. Hukumpun diintervensi, dipojokkan untuk bisa memberi vonis atas rekomendasi kelompok. Padahal Sang dewi hukum itu buta. Dia akan menebas ketidakadilan tanpa memandang orang, kelompok,, ideologi, agama. Hukum itu berjalan berdasarkan undang-undang bukan atas desakan sekelompok orang. Jika hukum kalah oleh desakan massa maka akan ditanyakan apakah negara ini sehat?
Versus, rekam jejak kekarasan atas nama agama memang dengan siapa melawan siapa menjadi potret buruk manusia yang mengagungkan ego kelompok. Agama yang pada intinya mengajarkan cinta kasih berubah beringas karena susah menerima perbedaan, susah menerima ajaran lain. Dalam agamapun ada aliran tersendiri yang berkembang dan menimbulkan pro kontra di antara jemaat/Jemaah atau pengikutnya. LIhat jejak perang karena agama yang berkembang di Timur Tenga, sebagian Afrika dan sebagian kecil Asia. Sebetulnya apa sih yang diperebutkan, apa sih yang ditertentangkan. Sumber kebenaran hanya satu yaitu Tuhan, tapi sampai ke manusia yang multitafsir menjadi beragam tanggapannya. Ada yang menjadi radikal, liberal, moderat. Dan akhirnya ada yang akhirnya Atheis. Ketika mempelajari agama orang bisa tiba-tiba berubah haluan, berubah pikiran dan berubah keyakinan. Tapi inti kebenaran hakiki agama adalah cinta kasih sementara manusia memaknai cinta kasih berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hukum cinta kasih bagi sebagian orang hanya pada orang yang dikasihi, keluarganya, orang yang sepaham, seagama, seideologi, sementara yang berbeda adalah musuh, kafir, harus dibasmi dan dimusnahkan. Lalu makna cinta kasihnya mana kalau cinta hanya milik segolongan?
Konflik. Versus, Pembenaran agama untuk membenarkan pemusnahan ,pembunuhan atas nama kasih sayang pada kelompoknya bagaimana menyikapinya. Sekarang di era modern agama tidak begitu menentukan untuk negara yang sudah “maju”, tapi masih menjadi hantu bagi negara-negara berkembang karena agama bisa menjadi senjata untuk memusnahkan yang minoritas dan membenarkan yang salah menjadi benar atas nama agama. Bagaimana mungkin korupsi dibenarkan dan tidak termasuk berdosa jika itu diucapkan oleh yang mempunyai kekuasaan dan kebetulan beragama mayoritas. Mungkin itu akan berlaku di negara lain yang di negara lain minoritas tapi di negaranya adalah mayoritas. Agama tetap menjadi bahan konflik dan salah satu biang dari munculnya perpecahan.
Masyarakat negara berkembang dihadapkan pada pekerjaan-pekerjaan rumah yang berat. Di satu sisi ingin maju tapi terkendala oleh pola pikir masyarakat yang belum mau maju, susah diatur dan susah menerima sistem cepat yang memberikan stimulasi berpikir maju.
Yang aku pikir(ini pendapat pribadi) kapan Indonesia bisa maju kalau diberi pemimpin yang berpikiran maju saja malah menolak dengan dalil agama. Semoga saja agama bisa meredam konflik bukan mengobarkan api kebencian. Manusia-manusia yang berada di garda terdepan agama harusnya sadar bahwa fungsi agama adalah mendinginkan suasana, bukan menyiram bensin pertentangan. Memang manusia tidak akan lepas dari versus(persaingan siapa lawan siapa) versus positif itu jika pertarungan sebagai sebuah kompetisi untuk mendapatkan hasil terbaik. Versus negatif jika pertentangan itu tidak disertai dengan nilai-nilai sportifitas yang lebih mengedepan. Jika versus disertai dengan mental pecundang, maka kemenangan akan dimulai dengan cara-cara kotor karena yang penting itu menang, terbaik walau jalannya kadang dengan cara-cara kotor atau menghalalkan segala cara. Aku lelah dengan semua konflik. Mari kembali mengobarkan rasa damai, sebab damai kita akan hidup lebih nyaman berdampingan tanpa rasa cemas, sayangnya jika hidup di negara sedang berkembang seperti di Indonesia cita-cita damai itu seperti sebuah utopia.Tapi semoga aku salah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H