Manusia akan selalu hidup dalam permasalahan. Mau tidak mau, setiap kali terbentur masalah, pernik-pernik emosi hadir. Bagi yang temperamental, kemarahan itu sebuah persoalan, baik bagi dirinya sendiri maupun pasangannya maupun orang lain. Kemarahan akan selalu menimbulkan efek. Yang pertama adalah hadirnya percekcokan, perdebatan. Jika perdebatan tidak menyelesaikan masalah, berlanjut menjadi arena gontok-gontokan dan saling serang secara fisik. Bagi yang malas beradu fisik yang terjadi adalah munculnya kebencian yang terpendam. Jika sudah sebal, capek, benci, muncul efek lain, yaitu “ngambek”.
Penulis merasakan efek marah itu membuat jantung berdebar kencang, perasaan kesal meluap-luap, dan seperti ada dorongan lain untuk berusaha menggerakkan tangan untuk menampar atau sekedar memukul benda untuk melampiaskan dorongan emosi kuat dari dalam diri. Bila amarah itu terus berulang berefek pada tensi yang meroket. Ketika amarah menguasai keseimbangan tubuh sangat labil, logika berpikir pun kacau-balau. Lalu, dengan apakah emosi bisa diredam?
Saya yakin setiap orang, apalagi yang sudah berumah tangga akan merasakan ”pergesekan-pergesekan”.
Setiap kali berdialog atau bertukar pikiran dengan pasangan,ada saja perbedaan-perbedaan mendasar yang bisa memicu “perdebatan” dan beda persepsi. Tidak mudah menyatukan pendapat. Setiap manusia satu sama lain mempunyai alur pikiran yang berbeda-beda. Jika tidak menemui kata sepakat, rasanya emosi menjadi mudah meledak. Muncullah konflik-konflik kecil dan jika tidak selesai maka akan muncul “perang besar”.
Banyak orang terutama suami-istri akan berpikir jika terus-menerus beda prinsip, beda pendapat, selalu bertengkar, rumah berantakan karena seringnya piring pecah, pintu rusak, lemari penyok, bahkan sampai mulut berdarah karena masing-masing pasangan saling menampar dan beradu fisik. Apakah jalan satu-satunya untuk menghentikan konflik adalah cerai?
Jika menulis sudah menjadi sebuah kebutuhan untuk membantu solusi diri, akan akan sangat berguna untuk menuliskan berbagai persoalan hidup. Masalah-masalah keseharian akan tercatat dan berbagai persoalan akan menemukan solusinya tanpa kemarahan yang tertumpahkan lewat kontak fisik. Tulisan-tulisan emosional itu suatu saat akan menjadi tambang emas, sebab tulisan yang berasal dari keluhan dan suara jiwa, dari unek-unek batin biasanya “dalam” dan terasa dramatis. Ada ungkapan bagus dari seorang tokoh yang saya ingat menulislah dengan hati.
Efek Buruk Amarah
Yang jelas tidak ada untungnya marah-marah. Yang ada kemarahan bisa menimbulkan efek buruk, antara lain:
1. Meningkatkan risiko munculnya penyakit
Orang yang sering marah-marah sering kali berefek pada penyakit darah tinggi/hipertensi, jantung, stroke, serta kanker. Kemarahan yang terlalu sering menyebabkan hormon stres meningkat. Hal ini tentu berdampak pada metabolisme tubuh yang kacau. Metabolisme tubuh yang kacau akan memudahkan penyakit datang karena sistem kekebalan tubuh yang terus berkurang.