Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Aku Menulis Belajar dari Kompas

8 Juli 2015   13:22 Diperbarui: 8 Juli 2015   13:31 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Dari jajaran-jajaran penulis handal yang pernah ku baca artikelnya, di harian kompas inilah aku menemukan banyak sekali pelajaran. Boleh saja mereka vokal ganas menyerang pemerintah atau penguasa, tapi di Kompas cetusan idenya tetap sopan dan runtutan bahasanya tidak liar. Redaksi kompas mungkin kadang di cap sebagai terlalu berhati-hati, terlalu cari aman tapi itu khan dimensi dari orang yang terlanjur masuk dalam doktrin kebebasan penuh hingga melupakan sopan santun dalam bertutur. Sekarang banyak media sudah masuk dalam jaring politisi di mana tidak ada lagi netralitas dalam menyuarakan suara kebenaran dari rakyat. Banyak media sudah menjadi corong bagi hegemoni partai tertentu, menjadi promosi gratis bagi politisi yang ingin dikenang sebagai yang kawakan dan dapat menggerakkan opini lewat medianya. Yang berbasis agama media lebih diarahkan menjadi propaganda atau syiar agama dan cenderung sering mendiskreditkan agama lain.

Aku melihat Kompas adalah “Kompas” bagi arah berpikir yang sehat netral dan tidak tebang pilih. Meski awalnya asosiasi masyarakat mengenal bahwa kompas lahir dari orang khatolik dan tentu lebih membela agama yang pusatnya di Vatikan. P K Ojong dan Jakob Oetomo rasanya bukan orang yang tergambarkan sebagai orang yang tendensius pada agama. Mereka adalah peletak dasar demokrasi yang mengerti benar bagaimana hidup dengan dilandasi sila-sila dalam Pancasila. Toleransi, inkulturasi, obyektif dan tidak sektarian. Saya melihat bandul kompas itu tetap terjaga sampai sekarang dan tidak terjebak dalam arus keberpihakan, seperti tabloid politik yang hanya muncul saat akan ada pemilihan umum, setelah pemilu selesai, selesai sudah misinya menyuarakan informasi yang sejuk. Tabloid-tabloid keras dan memihak akan cepat pudar, cepat dilupakan dan cepat hilang dari peredaran. Kompas sudah menapak di usia matang. Meskipun tidak secara rutin berlangganan, tapi aku tahu kompaslah yang mencetak aku untuk menyukai membaca dan mencoba mengikuti arus berpikir dengan menulis.

Aku menyukai gaya tajuknya yang membangun visi, renyah bahasanya meskipun bagi sebagian orang yang kurang suka membaca terasa berat. Media mainstream yang masih menjadi panutan dalam cara pandang dan gaya bertuturnya adalah Kompas.

Sekarang ketika era telah disibukkan dengan kecepatan data, di mana informasi lebih update saat membuka google ataupun media portal berita digital, kompas tetap menggeliat dengan e-papernya, sedangkan warga yang ingin berpartisipasi dalam menelurkan pikiran murni masyarakat di beri ruang dengan wujud Kompasiana.

Entah, ketika menulis aku harus paling tidak membuka artikel, feature kompas, aku perlu melihat gaya bahasanya, susunan kalimatnya sehingga terkadang aku tidak bisa secara lugas menulis lu gue saat menulis di blog. Gaya bahasa yang aku gunakan pun kadang terlalu kompas minded yang cenderung mengritik dengan bahasa halus tidak menohok.

Kompas menjadi pembelajaran dalam menulis yang baik. Bahkan kadang aku lebih malas membaca kamus bahasa dan teori-teori bahasa njelimet yang hanya mengajarkan grammar dan bagaimana menyusun kalimat yang baik dan benar. Aku tidak menyukainya, aku lebih menyukai belajar mengarang, menulis dari empunya dan praktisi yang selalu tampil dengan bahasa indah. Sebutlah Romo Sindhunata, Radhar Panca Dahana, Romo Magnis Suseno, Di kalangan praktisi pendidikan aku mengenal pemikiran Daud Joesoef, Mochtar Pabottinggi, di jajaran sosiolog nama Ignas Kleden layak disebut dan sederet penulis-penulis handal yang mengisi rubrik opini kompas. Dulu aku seringkali bermimpi bisa menulis dengan pintar dan seindah tulisan-tulisan mereka tapi apa daya keinginan dan mimpi itu tidak sejalan dengan kekuatanku yang gampang menyerah. Akhirnya aku hanya menjadi penikmat setia opini para pakar itu dan senang mencerna bahasanya yang bernas dan cerdas.

Kompas, telah memasuki usia setengah abad lebih tua dari umurku. Di usia itu aku berharap kompas tetaplah menjadi bapak yang baik bagi para penulis pemula, bagi para penulis sekarang yang punya insting jurnalistik luar biasa. Aku merangkak tua dan kadang terengah-engah dengan gelora semangat menulis kaum muda sekarang, hanya aku kadang menggerundel banyak penulis sekarang yang melacurkan diri, menulis dengan nyablak, kelewat berani, tanpa kontrol hingga menimbulkan friksi dan menjadi buah bibir yang kurang mendidik. Aku kadang bergidik dengan komentar-komentar di media sosial yang sarkastis, Berbau SARA, jorok dan tidak mencerminkan sebagai kalangan terdidik yang bertindak dan berpikir dengan berlandaskan etika. Ketika aku merasa emosi dengan bahasa-bahasa hutan yang muncul di media sosial, aku kembali merenung dengan membaca ulasan ulasan menyejukkan di kompas.

Paling tidak meskipun sekarang era digital telah meminggirkan media mainstream, kompas tetaplah kompas yang wajib dibaca, meskipun tumpukan kertasnya membingungkan bagaimana membuangnya karena saya berpikir di buang sayang. Saat menulis buntu kadang aku harus membolak-balik koran bekas(Kompas) barangkali ada artikel yang menjadi inspirasi dalam menulis.

Ket: Dimensi penulisan aku untuk memberi penekanan pribadi, pengalaman individual yang mesti kutonjolkan. Sebetulnya tak terbiaswa juga menulis dengan bahasa aku, tapi menulis adalah menulis, kukembalikan saja kepada forum pembaca untuk menilainya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun