Mohon tunggu...
Dwi Astuti Setiawan
Dwi Astuti Setiawan Mohon Tunggu... -

kegilaan adalah bagian dari hidupku, maka menggilalah sebelum kamu benar benar gila dengan keadaan di sekitarmu

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rubik Bangsa yang Tak Pernah Usai

11 Mei 2013   19:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:44 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rubik adalah permainan yang masih saja menjadi trend masa kini. Permainan yang menggunakan kemampuan kinerja otak kanan ini memberikan tantangan tersendiri. Baik bagi kalangan pro untuk meningkatkan kecapatan penyelesaian. Atau bagi amitiran yang masih mencoba mengotak atik kotak bersegi sembilan ini. Dari ke 6 sisi ini juga memiliki warna yang berbeda pula sebagai tanda cirikhas sisi dan sebagai kesulitan tersendiri. Inilah keunikan sebuah rubik yang sangat relevan dengan bagaimana sistem di bangsa ini.

Relevansinya tentu sangat menarik bila kita kupas. Dimulai dari sisi rubik terlebih dahulu dengan warna berbeda pula. Ini merupakan bentuk cirikhas dari setiap wajah indonesia yang unik dan juga sulit untuk disatukan. Namun selayaknya sebuah rubik, sesulit apapun dan dengan trik manapun rubik akan terselesaikan. Sayangnya ini masih menjadi momok dari bangsa ini. Dimana ada kalanya bangsa masyarakat indonesia terlampau jauh mencintai kalangan pribadinya dibandingkan dengan keseluruhan bangsa. Kita ambil seperti daerah timur, papua. Papua bagian dari bangsa ini. Dengan wajah berbeda pula dan heterogentias tinggi, papua memiliki daya tarik tersendiri. Ada dalam bidang pariwisata, bidang Sumber daya alam dan eksotisme budaya didalamya. Namun selayaknya sebuah rubik, papua dapat dikategorikan seperti rubik kelas pro. Dengan orang orang pro lah yang seharusnya menangani. Sehingga sampai detik ini papua masih menganggap dirinya bukan bagian dari indonesia.

Tambah lagi penanganan sebuah daerah sejatinya masih dalam konteks structural saja, tanpa adanya proses perbaikan sistem dan penanganan diri dari bangsa dan wakil rakyatnya. Tambah lagi kekuasaan otonomi daerah memiliki perimbangan yang kurang tercapai dalam tujuannya. Tentu dampaknya, ini bagiakan rubuk yang sangat rumit mungkin dengan bagian sisi lebih dari 9 dan dikerjakan oleh seorang anak kecil. Tidak menutup kemungkinan ini bakal berhasil. Tetapi perlu waktu, metode dan pelatihan yang lebih dari seorang pemain pro.

Kedua adalah negara ini bagaikan rubik yang dijalankan oleh seorang amatiran dengan membawa buku petunjuk permainan. Tanpa disadari, karena terlalu structural, pemain cenderung memiliki kesempatan untuk melakukan improvisasi. Jika memang seorang pemain ini memiliki capabilitas, tentu feeling dan daya putar dengan koordinasi tangan akan mengubah rubik menjadi trik terendiri.

Namun dalam prakteknya, pemain pemain ini malah menjadikan sebuah trik menjadi rusuh dan kemungkinan karena kejenuhan, keteraturan membuyar. Pada akhirnya, sebuah rubik tidak carut marut. Sehingga ada jalan jalan licik yang digunakan yaitu mncopoti keseluruhan bagian dan memasangnya secara paksa berdasaarkan warna yang diambilnya. Tentu rubik akan rusak dan tidak akan terpakai lagi.

Relevansi dalam ilustrasi diatas adalah, kebanyakan pemain pemain pemerintahan sering sekali menggunakan undang undang sebagai pedoman penjalanan sistem dan roda pemerintahan. Namun sejatinya, perundang undangan tersebut terlahir bukan atas dasar pemikiran dari objek masyarakat yang dibutuhkan. Tetapi dari pemikiran pemain yang merusak tatanan dan akhirnya menggunakan jalan jalan licin untuk mempermudah perhelatan sistem dengan mengenyampingkan kepentingan umum.

Dampaknya ya seperti sekarang ini, segala macam proyek pemerintahan dari kelas kakap, sampai teri ada juga peluang memanipulasi. Tambah lagi pekerjaan yang dihasilkan tidak sepenunya usai. Contohnya jakarta sendiri, yang dipimpin oleh seorang jokowipun ternyata sampai detik ini juga belum nampak bagaimana kinerja nyatanya. Dengan program deep tunnel yang sudah dipending beberapa tahun yang lalu, sampai terhentinya pembangunan monorail atas sendetnya keputusan presiden. Akhirnya rubik indonesia belum lagi usai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun