Dalam kehidupan sehari-hari, pernahkah Anda mendengar pepatah, "Ditetak belah, dipalu belah, tembikar juga jadinya"? Pepatah ini mengingatkan kita akan sifat tanah liat yang unik. Tanah liat, dengan kelenturannya, mudah dibentuk menjadi berbagai benda seperti genting, periuk, patung dan sejenisnya. Namun, ketika ia dibakar hingga menjadi tembikar, sifat aslinya berubah menjadi keras, tidak lentur dan tidak lagi mudah dibentuk, meskipun direndam di dalam air sekalipun.
Tembikar, benda yang dihasilkan dari tanah liat ini, memiliki nilai yang tidak hanya terletak pada bentuk akhirnya saja, tetapi juga pada serpihannya saat pecah. Dalam budaya Jawa, pecahan tembikar tetap disebut tembikar, sehingga mengingatkan kita bahwa setiap hal memiliki asal-usul yang bermakna.Â
setelah menjadi tembikar, setiap benda memiliki fungsi yang jelas sesuai dengan tujuan awal penciptaannya. Genting melindungi kita dari hujan dan panas. Periuk membantu memasak makanan sampai rela berkorban meski harus menghadapi panasnya api. Patung menjadi penghias yang memberikan keindahan, meskipun suatu saat mungkin dilupakan. Namun, pada akhirnya, semuanya akan kembali ke asalnya: Tanah.
Kisah manusia yang diciptakan dari tanah diabadikan dalam Al-Qur'an, khususnya dalam QS. Al-A'raf ayat 11:
"Dan sungguh kami telah menciptakanmu, kemudian membentuk (tubuh)-mu, lalu Kami berfirman kepada para malaikat, 'Bersujudlah kamu kepada Adam'. maka mereka pun sujud kecuali iblis. Ia (Iblis) tidak termasuk mereka yang bersujud".Â
Dari kutipan ayat tersebut, Allah menjelaskan bagaimana manusia diciptakan dan diberi bentuk sempurna. Allah pun memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepada Adam, dan semua melakukannya kecuali Iblis. Kesombongan Iblis diabadikan dalam QS. Sad ayat 76: "Iblis berkata, 'Aku lebih baik dari padanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan Engkau menciptakannya dari tanah".Â
Kesombongan Iblis membuatnya dilaknat oleh Allah. Sebagai balas dendam, Iblis bersumpah akan menyesatkan manusia dari segala arah; depan, belakang; kanan dan kiri. Ia tahu betul bahwa manusia memiliki kelemahan, seperti tanah liat yang dapat dihancurkan oleh api.
Kisah ini mengajarkan bahwa tanah liat memiliki sifat dasar yang lentur, tetapi bisa berubah menjadi keras jika tidak dijaga dengan baik. Manusia, sebagai makhluk yang berasal dari tanah, memiliki potensi luar biasa jika mau menerima bentuk yang diberikan Sang Pencipta. Namun, kita juga harus waspada terhadap godaan "api" kesombongan dan tipu daya Iblis.
Kini, pertanyaan besar bagi kita semua: Mampukah kita, sebagai "tanah liat", tetapi rendah hati, lentur dan bertahan dari godaan "api"? Renungkanlah! Mungkin dari sini, kita bisa memahami betap berharganya sifat asal kita, sebelum dibakar oleh kesombongan dan lupa akan asal-usul.Â
Referensi:
Bisri, A. M. (2018). Saleh ritual, Saleh Sosial. Diva Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H