Menurut data, sebanyak 22,97 juta jiwa atau sekitar 8,5% dari jumlah penduduk Indonesia adalah seorang penyandang disabilitas. Sebesar 3,3% penyandang disabilitas berada pada usia produktif yaitu pelajar. Namun tidak semua mendapat pendidikan formal pada Sekolah Umum maupun Sekolah Luar Biasa (SLB).Â
Dari Sini dapat dikatakan bahwa masih adanya kesenjangan pendidikan antara penyandang disabilitas dengan pendidikan non-disabilitas. Memicu pertanyaan, apakah mereka yang berbeda tidak boleh menggapai mimpinya, dan bagaimana dengan hak-hak mereka yang belum terealisasikan?
Salah satunya terjadi pada seorang siswa SMK asal Tangerang, penyandang disabilitas tuli sejak usia 3 tahun yang terpaksa melepas alat bantu dengar miliknya saat melaksanakan Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) pada Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) karena dicurigai sebagai penjoki.Â
Universitas terkait menyangga dengan mengatakan bahwa ujian yang dijalani bersifat visual dan tidak memerlukan bantuan apapun.Â
Jelas tindakan ini membawa pengaruh besar, siswa mengaku kehilangan fokus karena kondisi telinganya yang bising. Hal ini tentu berakibat fatal pada ujian yang dilakukan, terlebih nilai UTBK sangat krusial dalam perjuangan pelajar menggapai Universitas yang diinginkan.Â
Kondisi ini menggambarkan masih kurangnya kesadaran masyarakat terhadap penyandang disabilitas di sekitarnya. Sebagai makhluk sosial, kepekaan pada kondisi orang lain yang berbeda dengan orang umumnya perlu dikuatkan sebagai langkah awal yang bisa dilakukan untuk mengurangi diskriminasi terhadap penyandang disabilitas.
 Masyarakat harus belajar memahami bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk merasa dihargai dan merasa diperhatikan terlepas dari kondisinya yang berbeda. Hal ini dapat membantu masyarakat sadar pada kondisi penyandang disabilitas di sekitar mereka.Â
Membangun rasa empati juga diperlukan sebagai bentuk menghargai kondisi mereka. Masyarakat dapat belajar bagaimana keseharian mereka dengan kondisi tersebut. Tentang tantangan yang mungkin dihadapi selama ini dan cara mereka menghadapinya.Â
Dari pengalaman tersebut masyarakat mungkin bisa terinspirasi untuk menjalani hal-hal positif yang mereka lakukan. Hal ini akan membuat masyarakat lebih mengerti bahwa mereka jauh berbeda dengan stigma negatif yang ada. Mengerti keadaan mereka akan membuat kita lebih mengerti kebutuhan yang mereka perlukan.Â
Membangun komunikasi dengan mereka juga bisa dilakukan dengan mempelajari bahasa isyarat. Untuk membuat mereka lebih nyaman saat berkomunikasi dengan kita maka tidak ada salahnya untuk mempelajari hal tersebut.
 Banyak manfaat positif yang bisa didapatkan dengan mempelajari bahasa isyarat. Bahasa isyarat juga memudahkan para penyandang disabilitas dalam hal pendidikan yang masih yang masih memiliki ketimpangan ini.
Masih banyaknya pelajar penyandang disabilitas yang tidak mendapat pendidikan formal karena kurangnya pemerataan sekolah terlebih pada daerah terpencil dan ketidakmampuan sekolah dalam menyediakan tenaga kerja berbekal bahasa isyarat.Â
Namun hal ini juga diakibatkan karena masyarakat yang masih menyepelekan untuk mempelajari bahasa isyarat. Diperlukannya pelatihan terhadap tenaga kerja mengenai bahasa isyarat ini. Agar mereka penyandang disabilitas dapat mengikuti proses pembelajaran tanpa perlu tertinggal.Â
Diskriminasi penyandang disabilitas masih menjadi masalah besar dalam dunia pendidikan. Maka dari itu, pemerataan sekolah secara menyeluruh serta tenaga kerja berbahasa isyarat diperlukan dalam menurunkan angka diskriminasi penyandang disabilitas.Â
Kesadaran masyarakat juga sangat penting dalam memajukan kualitas pelajar disabilitas dalam dunia pendidikan yang sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat di masa depan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H