Di tepian senja yang redup, Â
Alam merangkai simfoni merdu, Â
Bergelombang bersama angin yang berbisik lembut, Â
Seperti tangan tak terlihat, membelai langit yang terluka, Â
Meraih bintang yang terselip di pelukan malam, Â
Membangunkan harapan yang terselimuti kabut sepi. Â
Harapan itu melangkah anggun, Â
Menari di atas panggung waktu yang tak terbatas, Â
Setiap detiknya bagai denting harpa surga, Â
Menelusuri lorong-lorong takdir yang tersembunyi, Â
Mengayunkan sayap-sayapnya yang penuh cahaya, Â
Menggapai cakrawala yang menjanjikan janji-janji malam. Â
Namun, Harapan tak sendiri, Â
Dia ditemani bayangan-bayangan gelisah, Â
Menggulung ombak ketidakpastian yang tak bertepi, Â
Namun Harapan tak gentar, Â
Dia mendengar nyanyian dari langit, Â
Suara janji semesta yang menggema di jiwa, Â
Bahwa setiap jiwa yang bertahan, Â
Akan menemukan cahaya abadi di ujung jalan yang berkelok. Â
Senandung itu terus menggetarkan, Â
Menggema di dalam relung hati yang terluka, Â
Mengobati dengan lantunan penuh kerinduan, Â
Seolah Harapan merangkul mereka yang jatuh, Â
Membisikkan kata-kata manis kepada dedaunan yang layu, Â
"Aku ada di sini, untukmu, Â
Meretas setiap belenggu yang mengikat sayapmu." Â
Dan akhirnya, Â
Harapan itu mencapai bintang, Â
Menyatu dengan angin yang tak pernah berhenti bernyanyi, Â
Mengubah keheningan malam menjadi suasana abadi, Â
Yang akan selalu mengalun di hati, Â
Setiap kali dunia meredupkan cahayanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H