Di atas sana, rembulan mengintip dari tirai malam,
Menggeliat di antara awan-awan yang resah,
Memantulkan cahayanya yang pucat dan muram,
Seakan menyelami luka-luka jiwa yang terpendam.
Ia bukan sekadar berpendar yang memanjakan mata,
Namun juga seorang saksi yang tak pernah tidur,
Menyaksikan kesepian, kebohongan, dan dusta,
Mengintai bisikan rahasia yang terbungkus kabut.
Oh, rembulan, mengapa engkau diam membisu?
Apakah engkau menikmati drama kehidupan yang fana?
Mengapa engkau tak memprotes ketidakadilan yang bisu,
Atau menyorotkan sinarmu pada kebenaran yang tertutup noda?
Rembulan di langit yang gelisah, engkau tahu segalanya,
Kau saksikan para pemimpi yang terjebak dalam labirin mimpi,
Para pecinta yang terperangkap dalam perangkap asmara,
Dan para pejuang yang terluka oleh pedang-pedang ilusi.
Namun engkau tetap di sana, memandang dari kejauhan,
Menyinari malam yang semakin pekat oleh kegelapan hati,
Membiarkan dunia terjerumus dalam lingkaran keputusasaan,
Tanpa pernah menawarkan seberkas harapan yang sejati.
Oh, rembulan yang gelisah, engkau mengerti derita kami,
Tapi mengapa hanya diam, menjadi penonton setia?
Mungkin, di balik cahayamu yang dingin dan sepi,
Tersimpan rahasia besar yang enggan kau ungkap pada dunia.
Biarlah, kami yang terbakar oleh api kehidupan ini,
Menatapmu dengan tanya yang tak pernah terjawab,
Dan berharap suatu saat, di tengah malam yang hening,
Rembulan di langit yang gelisah, engkau akan bicara, mengurai misteri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H