Konflik masih terus menyelimuti tanah Papua. Penembakan demi penembakan makin menjadi, menyebabkan meninggalnya warga sipil, bahkan anggota polisi. Mengapa konflik di Papua ini tidak kunjung usai? Kalau ada yang meminta untuk memerdekakan diri, saya berusaha memahaminya. Bukankah dibalik semua alasan, selalu ada akar kuat yang mendasarinya?
Papua, sebuah provinsi di ujung paling timur Indonesia. Ujung negeri yang begitu indah, penuh pesona, dan kaya akan hasil alam, baik di permukaan maupun di dalam perut buminya.
Alam Papua bagai surga dunia. Danau, pulau, dan pantai yang begitu indah terhampar di pulau terbesar di dunia ini. Keindahan pulau, pantai, dan laut di papua bahkan tidak kalah dibanding dengan resor terkenal di dunia ini yang ada di pulau Maldives, sebelah barat Srilanka. Itu semua belum temasuk kekayaan yang ada di dalam perut buminya.
Tanah Papua juga merupakan satu tempat di bumi dengan cadangan emas terbesar. Disinilah PT. Freeport Indonesia berada, tambang emas terbesar di dunia, penyetor pajak terbesar di Indonesia sejumlah US$ 1 miliar per tahun. Tapi apa itu semua membuat mereka kaya? Apa itu membuat mereka sejahtera?.
Meski tanah Papua dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa tetapi rakyat Papua dinilai masih terbelakang dan tingginya tingkat kemiskinan justru terdapat disini. Data Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 menyatakan Provinsi Papua memiliki kabupaten daerah tertinggal terbanyak, yakni 27 kabupaten  dari 183 kabupaten itu.
Orang-orang dari luar berbondong-bondong datang ke Papua. Mereka mengeruk kekayaan alam bumi Papua, membuat resort di Raja Ampat dan mengambil semua yang bisa diambil. Lihatlah, berapa banyak putra-putri Papua yang sanggup melingkarkan sebuah cincin emas dijari kecilnya?. Hampir semua jari putra-putri Papua polos tanpa cincin. Sungguh mengenaskan hal ini terjadi di tanah yang kaya akan tambang emasnya.
Banyak wilayah di Papua dan Papua Barat yang hidup tanpa listrik. Listrik yang ada sering padam secara rutin dan bergiliran. Contoh persoalan lebih parah, ditemui di Kampung Baingkete, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat. Di wilayah itu sama sekali belum ada jaringan listrik. Dan rakyat hanya pasrah dengan keadaan ini. Jeritan yang ada tidak terdengar, atau mungkin telalu jauh untuk di dengar dari Jakarta yang selalu sibuk setiap saat.
Jangan harap kondisi jalan di tanah Papua semulus kota-kota lain di Indonesia dan terpampang banyak papan penunjuk arah ke tempat vital, seperti bandara misalnya. Apalagi mengharapkan lampu-lampu jalan yang terang pada malam hari. Dan jangan pula Anda membayangkan bahwa Bandara Jayapura sebagus bandara di Jakarta, Jogjakarta, Semarang, Solo, dsb. Apalagi membayangkan pendidikan dan sarana sekolah-sekolah di Papua sama seperti di kota lain khususnya Jakarta.
Ironisnya, kalau ada organisasi yang menyuarakan ketimpangan ini, mereka kerap dianggap telah menabur benih separatisme. Dan dengan remeh orang mengatakan pribumi Papua-nya saja yang bodoh dan malas. Tidak segampang itu! Papua hanya bisa dirangkul dengan pembangunan yang lebih adil. Pemerintah harus merangkul Papua dan mengajak mereka berjalan sejajar supaya Papua bisa tumbuh secara bermartabat dan tidak perlu lagi terseok-seok dalam paket percepatan pembangunan provinsi tertinggal. Semua masalah harus segera ditangani dan diselesaikan secara komprehensif dan jangan terlambat agar tak berlarut-larut.
Sumber gambar :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H