Angin malam mulai merayap mengiringi berpamitnya mentari di ufuk barat. Kemilau kuning keemasan sinarnya terasa hangat di buluh malpighi. Burung gagak pun mulai beraksi menyusuri langit-langit berbenang hitam langit senja. Seorang gadis berdiri tegak di atas gedung memandang setiap sudut taman di bawah gedung dan memandang kilauan cahaya merah sang mentari seolah hendak berpamitan kepadanya. Gadis itu hanya terdiam dengan tatapan nanar di matanya melukiskan kemericik getaran hati yang tak tersampaikan. Setahun sejak ia pindah ke kota barunya ia berubah menjadi pendiam dan apa pun yang ia lakukan seolah terkekang dengan aturan main kehidupan. Dan ia hampir tak dapat melehkan emosinya tersirat dalam guratan wajahnya yang begitu kaku dan penuh rahasia. Memang ada sesuatu yang sangat mengganjal hatinya sampai detik ini. Banyak kejadian yang sangat awam baginya. Bertubi-tubi permasalahan menghantam keras hatinya.
Dan tanpa ia sadari berdirilah seseorang di sampingya membuyarkan lamunannya. " Kau sedang apa Ra?, apa yang kau pikirkan?" sapa Sari. " Tidak apa aku hanya ingin terdiam sejenak, mungkin dengan begini aku bisa pecahkan suasana hatiku ini", jelas Ara, panggilan akrab sang gadis. "Aku kenal kau ra meskipun baru setahun terakhir ini, tapi kau tak kan diam seperti ini kalau tak ada masalah yang benar-benar berat, ceritakanlah padaku bila itu bisa membuatmu lebih tenang". "iya pasti aku ceritakan tapi belum saatnya, tunggu aku sampai aku bisa ceritakan semuanya padamu". " Ku pikir masalahmu nggak jauh-jauh dari perasaanmu ke dia?" "Mungkin itu salah satunya tapi itu hanya sebagian kecil dari semuanya, semua itu proses bukan?" Jelas Ara sambil tersenyum lemas di bibir tipisnya". "Perjuangan itu belum berakhir kawan kau harus terus semangat, sambil menepuk-nepuk punggung Ara". "Iya aku kan melanglang buana mencari masa depanku".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H