Krisis keuangan global 2008 mengajarkan pentingnya menjaga stabilitas sistem keuangan, selain stabilitas harga, untuk mencegah krisis ekonomi yang lebih parah. Salah satu pelajaran utama dari krisis tersebut adalah perlunya kebijakan countercyclical yang dapat meredam siklus boom-bust dalam sektor keuangan. Di Indonesia, Bank Indonesia mengadopsi kebijakan makroprudensial Loan-to-Value (LTV) untuk mengelola pertumbuhan kredit properti, salah satu sektor yang paling rentan terhadap ketidakstabilan ekonomi. Â
Teori Minsky dan Dasar Kebijakan LTV Â
Menurut Financial Instability Hypothesis yang dikemukakan oleh Minsky, sistem keuangan cenderung mengalami prosiklikalitas. Dalam kondisi ekspansi ekonomi (boom), lembaga keuangan lebih agresif memberikan kredit, yang memicu spekulasi dan gelembung aset. Namun, ketika kondisi ekonomi memburuk (bust), permintaan kredit turun drastis, menciptakan ketidakstabilan ekonomi. Â
Kebijakan LTV, sebagai instrumen makroprudensial, dirancang untuk memitigasi risiko ini. Penetapan rasio LTV yang ketat membatasi jumlah pinjaman yang dapat diberikan kepada pembeli properti, mencegah pertumbuhan kredit yang berlebihan dan menjaga harga properti sesuai fundamentalnya. Sebaliknya, rasio LTV yang lebih longgar digunakan untuk mendorong fungsi intermediasi perbankan dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Â
Implementasi Kebijakan LTV di Indonesia Â
Bank Indonesia mulai menerapkan kebijakan LTV secara signifikan pada 2021, di tengah penurunan ekonomi akibat pandemi COVID-19. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 23/2/PBI/2021, LTV dilonggarkan hingga 100% untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Kebijakan ini bertujuan untuk merangsang permintaan kredit properti, meningkatkan aktivitas ekonomi, dan mendukung pemulihan ekonomi nasional. Â
Data menunjukkan bahwa kebijakan ini efektif dalam meningkatkan penyaluran KPR. Setelah pelonggaran LTV, pertumbuhan KPR mengalami peningkatan, yang diikuti oleh pemulihan ekonomi secara umum. Namun, meskipun berhasil mendorong pertumbuhan kredit, kebijakan ini belum sepenuhnya efektif dalam mengendalikan laju kenaikan harga properti. Â
LTV berperan penting dalam menjaga stabilitas sektor properti, terutama dengan mencegah pembentukan gelembung aset. Namun, tantangan besar muncul dari faktor eksternal seperti inflasi yang tinggi. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah menyoroti bahwa inflasi berkontribusi signifikan terhadap kenaikan harga properti, membuatnya semakin sulit dijangkau oleh masyarakat. Â
Pada triwulan IV 2023, indeks harga properti residensial primer meningkat sebesar 0,25% secara kuartalan (qtq), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya (0,48% qtq). Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan LTV berhasil membatasi lonjakan harga, tetapi dampaknya masih terbatas dalam menahan kenaikan harga properti secara signifikan. Â
Meskipun kebijakan LTV mampu meningkatkan pertumbuhan kredit properti, tingkat inflasi yang tinggi tetap menjadi tantangan. Laju inflasi yang meningkat menyebabkan kenaikan biaya konstruksi, yang akhirnya diteruskan pada harga jual properti. Dengan kondisi ini, kebijakan LTV perlu diimbangi dengan kebijakan lain, seperti pengendalian inflasi dan pengawasan yang lebih ketat terhadap sektor properti. Â
Selain itu, pendekatan countercyclical yang diterapkan melalui LTV membutuhkan pengawasan yang dinamis terhadap perkembangan pasar. Misalnya, ketika ekonomi berada dalam fase boom, pengaturan rasio LTV yang ketat dapat mencegah lonjakan kredit dan gelembung aset. Sebaliknya, pada fase bust, pelonggaran LTV dapat mendorong pemulihan ekonomi dengan meningkatkan akses kredit bagi masyarakat. Â