Membaca running text di sebuah televisi swasta menyabutkan 5 hari sterilisasi jalur busway satgas telah menilang sekitar 5300 kendaraan bermotor yang melanggar dengan memasuki jalur busway, artinya sehari rata-rata lebih dari 1.000 kendaraan yang melanggar aturan rambu-rambu lalu lintas, karena selain busway atau bis transjakarta kendaaraan dilarang memasuki jalur khusus busway, sehingga siapa saja yang melanggar dengan memasuki jalur khusus tersebut harus ditilang, tidak peduli kendaraan menteri, pejabat ataupun presiden sekaligus.Pro dan kontra dengan adanya busway ini banyak bermunculan, tetapi dalam tulisan saya ini tidak membahas pro dan kontranya, meskipun penulis setuju dengan adanya moda transportasi masal semacam busway yang ada saat ini, hanya saja jumlah armada harus ditambah. Kaitanya dengan kendaraan yang masuk jalur busway ini disebabkan “dimakan”nya hingga sekitar sepertiga jalan raya yang ada untuk dibuat jalur khusus bis transjakarta ini.
Dengan adanya jalur khusus yang dibuat untuk bis transjakarta ini membuat pengendara nekad memasuki jalur tersebut karena aka sedikit mempercepat lajunya dari pada terjebak kemacetan jalan yang membuat jenuh setiap orang, khususnya pengendara kendaraan bermotor. Tujuan adanya moda transportasi ini untuk mengurangi kemacetan di ibu kota Jakarta, selain menggunakan metode 3 in 1 pada jam dan jalur tertentu.
Tetapi adanya busway dianggap makin membuat macet karena jalur yang ada dipakai busway. Dengan meningkatkan jumlah pelanggaran yang memasuki jalur busway membuat Pemprov DKI membuat satgas penertiban atau sterililasai jalur busway yang terdiri dari Polisi Militer, Dishub, Polisi, Satgas Transjakarta, dengan maksud disterilisasi ini adalah agar kendaraan lainnya tidak memasuki jalur busway sehingga busway akan lebih cepat dan tidak terhambat oleh kendaraan lain yang memasuki jalur busway tersebut.
Memang jika sterilisasi jalur busway dipatuhi semua pengguna jalan, maka busway akan sedikit lebih cepat dibandingkan jika ada kendaraan yang ikut masuk jalur busway, diharapkan nanti pemilik mobil pribadi beralih ke moda transportasi masa tersebut.
Kembali terhadap soal pelanggaran yang masuk jalur busway, luar biasa dalam 5 (lima) hari didapat lebih dari 5.000 pelanggar, dan jika mengacu pada pada Pasal 287 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, maka pidanya atau denda terhadap kendaraan yang masuk jalur busway adalah sebanyak-banyaknya Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah), jika vonis denda sebesar Rp.500.000,- itu diterpakan sungguh-sungguh oleh hakim dalam menyidangkan perkara pelanggaran masuk jalur busway akan benar-benar membuat pengendara akan jerah jika sudah divonis denda tertinggi, akan tetapi saat ini hanya divonis sebesar lebih kurang Rp.50.000,- (lima pulu ribu rupiah) dan lebih memperhatinkan lagi masih ada tambahan untuk ongkos untuk mengambil jaminan (SIM atau STNK).
Kalau kita cermati, sangat jarang pengadilan melakukan sidang dalam member vonis kepada pengendara kendaraan bermotor, padahal kadang yang ditilang oleh Polisi belum tentu bersalah, di sini akhirnya hak hukum seseorang diciderai meskipun terlihat ringan. Penegakkan hokum harusnya ditegakkan seadil-adilnya, dan untuk membayar denda hendaklah kita mau menyetor ke rekening Bank Rakyat Indonesia (Bank BRI) yang memang khusus diberikan kepada pelanggar, dan uang tersebut akan masuk ke kas Negara untuk pendapatan bukan pajak, sehingga kita ditilang uang kita tidak masuk kantong aparat, dan jika vonis hakim lebih rendah dari uang setoran jaminan di bank BRI, maka uang tersbut sisanya bisa diambil kembali. Dengan ditilang dan kita bayar ke BRI dan meminta sidang, maka kita akan mengurangi peluang korupsi yang terasa kecil namun jika kita akumulasikan jumlahnya cukup besar.
Bayangkan jika denda nilai sebesar-besaranya Rp.500.000,- diterapkan pada 5300 pelanggar, maka Negara akan mendapat tambahan sekitar Rp. 2.650.000.000,- (dua milyar enam ratus lima puluh juta rupiah) dalam 5 hari, sungguh fantastis angka tersebut, namun jika denda hanya sekitar Rp. 50.000,- maka akan didapat sekitar Rp. 265.000.000,- (dua ratus enam puluh lima juta) dalam lima hari, dan uang tersebut harus masuk kas Negara, namun jika kita ke calo dan anggap persurat tilang dihargai biaya Rp.10.000,- maka sekitar Rp.53.000.000,- (lima puluh tiga juta) masuk ke kantong calo di pengadilan, dan ini bisa ke oknum pengadilan, artinya terajadi korupsi di tempat pengadilan yang harusnya untuk menegakkan keadilan. Kalau kita kena tilang, mari kita minta bayar di bank BRI dan minta sidang kePengadilan agar uang yang kita bayar tidak “menguap” ke oknum yang memperkaya diri sendiri sedangkan kita tidak memperoleh keadilan. Mari kita hitung berapa jumlah pelanggaran di seluruh Indonesia, jika kita bayar ke bank BRI berapa besar yang didapat Negara dari pelanggaran lalu lintas ini, namun jika kita lewat oknum atau “titip” oknum Polisi, berapa juga yang menguap?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H