MUDIK di hari raya Idul Fitri telah menjadi ritual tahunan, yang mecirikan kekhasan masyarakat Indonesia. Mudik atau pulang kampung, dimaksudkan untuk bersilaturahmi dengan keluarga, mengunjungi kampung halaman, dan atau melakukan ziarah kubur kepada orang-orang yang disayangi.
Mudik menjadi tradisi turun-temurun, yang cenderung boleh dibilang membudaya. Banyak nilai-nilai mulia yang terkandung dalam tradisi mudik ini. Silaturahmi, mengunjungi orangtua, menyebar kebaikan, semuanya merupakan ajaran yang memuat nilai-nilai kebersamaan dan kegotong-royongan.
Apalagi, kalau dilihat bahwa dalam mudik itu ada perputaran ekonomi yang luar biasa besar. Dampak ekonomi juga sangat besar. Harapannya, terjadi pergeseran perputaran uang dari perkotaan ke perdesaan. Ini perlu dijaga bahwa jangan sampai perputaran uang yang selama ini sudah banyak di perkotaan, justru tidak berdampak positif terhadap perekonomian perdesaan.
Biasanya, dari tradisi mudik juga diikuti dengan arus urbanisasi. Para pemudik acap kali mengajak sanak kerabat mereka dari desa ke kota. Datang ke kota untuk mengadu nasib, mencari pekerjaan atau mencari penghidupan yang lebih baik.
Tidak jadi soal jika memang sudah memiliki bekal keterampilan, kesiapan mental, dan fisik yang memadai. Yang jadi persoalan dan akan membebani perkotaan jika para pendatang baru itu tidak memiliki bekal yang cukup. Setidaknya, dalam mencari pekerjaan sudah ada gambaran dan kesiapan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki.
Tradisi mudik menjadi menarik dan menyedot perhatian, mengingat jutaan orang melakukan perjalanan dalam waktu bersamaan. Hanya dalam hitungan hari, terjadi pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya. Setiap arus mudik, selalu juga diikuti arus baik, yang memiliki kompleksitas yang sama.
Hal ini yang harus diantisipasi oleh pemerintah dalam menyiapkan infrastruktur dan sistem transportasi. Pemerintah dituntut menyiapkan moda angkutan, sumberdaya manusia, dan sarana pendukung lainnya.
Kita ingin adanya perbaikan dari waktu ke waktu. Perbaikan infrastruktur jalan, moda angkutan yang nyaman dan aman, aparatur perhubungan yang ramah dan melayani, fasilitas terminal yang bersih, rest area yang bersih dan aman.
Kita tidak ingin dicap sebagai bangsa yang gagap dalam penyelenggaraan sistem perhubungan. Penyelenggaraan arus mudik dan arus balik harus memperhitungkan pertumbuhan jumlah orang, jumlah kendaraan, dan kebutuhan fasilitas pendukung yang diperlukan.
Kita tidak mau niat baik dan tradisi baik mudik menjadi tidak baik, mengumpat kepada pemerintah, atau para penyelenggara dan penyedia jasa transportasi. Sebab, ini terjadi setiap tahun. (*)
Â