[caption caption="Nomor Peserta : 10"][/caption]Â
Fiksiana Community
Nomor Peserta : 120
Â
Makassar, 13 April 2016
Dear Diary,
Hari ini dia mengirimiku pesan singkat yang menyuruhku membuka sebuah tautan. Dia yang kuharap punya keberanian untuk menunjukkan mukanya di depanku.  Ahh… sudahlah, masanya telah berlalu. Aku bukan lagi wanitanya sekarang. Aku tak lebih bagai orang asing. Kau tau apa isi tautan itu saat kubuka? Takkan kau sangka. Permintaan maaf. Ya, permintaan maaf. Terlambat bukan? Aku telah terlanjur sakit hati.
Maaf… Mudah baginya mengucapkan itu, karena dia tak tau apa yang telah diambilnya dariku. Kehormatan sekaligus kepercayaan. Bagaimana mungkin dia bisa mengembalikan keduanya. Setengah hatiku sungguh ingin memaafkannya bahkan seluruh hatiku masih berharap kebaikannya. Sungguh. Kau percaya itu? Aku terlalu baik hati bukan? Tapi, susah bagiku untuk melupakan kesalahannya. Dia tak tau bagaimana susahnya aku melewati keadaan ini, susah bahkan untuk menangis.
Tiap malam aku menangis tanpa bersuara, hanya air mata yang diam-diam turun melewati pipi. Aku terlalu malu untuk menderita atas pilihan yang kuambil bahkan ketika tak seorangpun mendukungku. Bahkan ketika tubuhku drop dan aku menderita flu, aku bersyukur. Aneh kan? Tau kenapa? Karena aku bisa diam-diam menangis dan mengkambing hitamkan fluku atas isak juga suara yang berubah serak. Aku lega ketika hujan deras. Gila kan? Aku takkan berhenti tuk berteduh, di atas sepeda motorku aku menangis lebih dari biasanya. Membiarkan hujan membawa serta air mataku. Kubiarkan derasnya hujan menyamarkan isakku. Dia tak tau, dia tak peduli. Baginya cukup hanya dengan maaf.
Dia mengajakku mengenang semuanya. Pertemuan kami. Sebuah kebetulan yang indah. Hubungan yang dia bangun dengan banyak kebohongan. Aku bukan terlalu polos, aku punya firasat dia berbohong, tapi aku menyangkal. Aku terlalu menikmati saat kami menghabiskan waktu berdua. Aku tau mungkin dia berbohong banyak hal, tapi aku tau yang pasti dia jujur soal perasaannya. Dia mencoba melindungiku dari realita yang tak sanggup kuterima, aku tau. Tapi mengenangnya kini sangat menyakitkan. Bukan karena kebohongannya, tapi keadaan yang memaksa kami harus berpisah.
Terakhir dia berkata akan meninggalkan perempuannya demiku. Aku tak munafik. Sejenak aku sempat senang. Tapi nuraniku kembali menguasai. Tak mungkin kuambil kebahagiaan orang lain. Apalagi akulah orang ketiga itu. Bagaimana kalau karma berlaku dan pada akhirnya dia akan meninggalkanku demi orang lain. Ini tidak benar kan? Iya akupun tau, tapi aku butuh sesuatu yang bisa mengghiburku. Meskipun hanya ilusi, aku bahagia.