“Siapa yang belum paham?” teriakan seorang guru terdengar dari sebuah ruang kelas di ujung selasar.
Aha, itu pastilah suara Bu Tutik. Aku sudah sangat hapal dengan suaranya. Informasi yang kudapat juga mengatakan bahwa beliau memang sedang mengajar di kelas yang ada di pojokan itu.
“Saya Bu!” sebuah suara cemengkling1) mendominasi ruang kelas yang dipenuhi bisik-bisik kecil yang lalu menyatu serupa dengungan lebah.
Kukira Bu Tutik akan kerepotan meredakan ‘dengung puluhan lebah’ itu. Nyatanya tidak! Tak berapa lama kudengar tiga kali ketukan di meja dan kelas menjadi senyap. Lalu kudengar suara Bu Tutik kembali menggema menjelaskan materi pelajaran Bahasa Inggris. Nadanya sabar, seolah tak pernah bosan mengulang-ulang materi yang sama. Sabar, kesabaran! Ya, satu hal itu memang melekat pada pribadi Guru berusia lebih dari setengah abad itu. Memang sudah semestinya, bila setiap guru di dunia ini memiliki kesabaran.
Padahal saat itu cuaca sangat panas dan gerahnya udara cenderung memicu emosi. Aku yang belum lama menunggu pun sudah mulai hilang sabar dan sebentar-sebentar mengeluh. Namun, teringat kesabaran Ibu Guru di dalam kelas itu, aku buru-buru menghentikan keluh kesahku. Dalam sekejap aku berhenti mondar-mandir di sepanjang selasar.
“Kamu sudah datang Ning?” sebuah sapaan mengagetkan aku. Bu Tutik tiba-tiba sudah berdiri di belakangku.
“Iya. Masih lama Bu?” jawabku berusaha tampil sebagai pribadi yang sabar.
“Sebentar lagi. Sebaiknya kamu ke perpustakaan saja. Di sana kamu kan bisa membaca atau menulis,” sarannya bijak.
“OK Bu, kutunggu di perpus ya!” Sontak aku berbalik melangkah ke perpustakaan sekolah.
Ah, itu kenangan percakapanku dengan Bu Tutik puluhan tahun silam, saat aku datang ke sekolahnya di kawasan Peterongan.
***
Membaca dan menulis! Itulah dua hal yang tak pernah lelah digaungkan oleh Bu Tutik. Beliau selalu mengajak anak-anak untuk gemar membaca dan menulis. Beliau bilang, buku dan ilmu adalah harta tak ternilai. Konon, meskipun gajinya sebagai guru SD sangat kecil, Bu Tutik selalu membeli buku bacaan untuk anak-anaknya. Sejak anak-anaknya kecil beliau juga rajin mendongeng untuk mereka sebelum tidur malam. Tak hanya dongeng puteri dan pangeran tetapi juga dongeng nusantara. Ah, tidur anak-anak itu pastilah sangat nyenyak dibuai mimpi tentang puteri dan pangeran. Jika sekarang pun aku memiliki hobi membaca dan menulis, itu juga gara-gara pengaruh beliau. Terlebih lagi jika kini aku memenuhi segala kebutuhan hidupku dari pekerjaan membaca dan menulis. Terima kasih Bu Tutik…
Mungkin karena kegemarannya membaca dan menulis, beliau mendapat tugas tambahan untuk mengajar bahasa Inggris. Sebenarnya, di SD Negeri itu Bu Tutik adalah guru bidang studi Agama. Konon karena skill yang dimilikinya pihak sekolah memberi beliau kewenangan untuk mengajar bahasa Inggris. Seingatku, ketika itu adalah awal mula digalakkannya pelajaran bahasa Inggris sebagai muatan lokal SD. Aku tahu, sebenarnya Bu Tutik bukan tamatan Jurusan Bahasa Inggris, beliau hanya pernah mengikuti beberapa kursus bahasa Inggris. Tapi kuakui, beliau memang tekun belajar secara autodidak. Beliau juga sangat kreatif mengembangkan talentanya. Aku sering melihatnya dengan tekun memotong berbagai macam gambar dari majalah. Gambar orang-orang beraktivitas, berbagai jenis benda warna-warni, buah-buahan, dan sebagainya, lalu ditempelnya pada kertas kosong. Katanya, itu untuk soal latihan bagi murid-muridnya. Bu Tutik juga rajin mengumpulkan lagu-lagu berbahasa Inggris. Ada sepotong lagu yang pernah diajarkannya padaku yang sering kunyanyikan hingga dewasaku.
I love to go a wandering
Along the mountain tracks
And as I go I love to sing
My knapsack on my bag
Val-deri, Val-dera,
Val-deri,
Val-dera-ha-ha-ha-ha-ha
Val-deri, Val-dera.
My knapsack on my back.
I love to wander by the stream
That dances in the sun,
So joyously it calls to me,
"Come! Join my happy song!"
Val-deri, Val-dera,
Val-deri,
Val-dera-ha-ha-ha-ha-ha
Val-deri, Val-dera.
My knapsack on my back.
Itu lagu berbahasa Inggris pertama yang kukuasai, selain Alphabeth Song. Puluhan tahun kemudian aku baru tahu jika lagu itu berjudul The Happy Wanderer. Bu Tutik mengajariku bagaimana mengucapkan kata-kata asing itu, juga memperbaiki artikulasi dan caraku bernyanyi sesuai nada dan ketukan yang diberikannya. Sesekali beliau ikut bersenandung untuk mencontohkan iramanya. Seingatku, kala itu usiaku tujuh tahun—kelas satu SD. Tidak seperti sekarang—di mana anak TK pun sudah fasih berbahasa Inggris—pada zaman itu hanya satu dua anak kecil yang bisa berbahasa Inggris. Hmmm... tentu saja aku sangat bangga jika menyanyikan lagu itu di depan teman-temanku di Gang Beruang. Terima kasih Bu Tutik…
Oh ya, waktu mengajarkan lagu itu Bu Tutik belum menjadi guru SD. Ketika itu Bu Tutik masih mengajar di Taman Kanak-Kanak di Gang Beruang, tempat keluargaku tinggal. Waktu itu, sesekali aku juga melihatnya mengajar, karena kebetulan sekolah Taman Kanak-Kanak itu diadakan di rumah Ayahku. Kulihat, Bu Tutik selalu mengajar dengan kesabaran dan penuh kasih sayang. Pagi-pagi sebelum TK dibuka, beliau bahkan sudah memasak bubur kacang hijau untuk anak-anak. Bubur kacang hijau bersantan itu sangat lezat rasanya! Tentu saja aku tahu, karena beliau selalu menyisakan sedikit untukku dan kakakku. Sepulang sekolah kami akan menikmatinya sebagai kudapan siang. Terima kasih Bu Tutik…
Ah, Bu Tutik memang guru idolaku! Tapi, tahukah kamu? Sesungguhnya, sejak TK hingga lulus SD tidak sekali pun aku pernah mengikuti kelas Bu Tutik, tidak pernah diajarnya. TK dan SD-ku berbeda dengan sekolah tempat Bu Tutik mengajar. Meski demikian, beliau adalah guru favoritku. Beliau mengajarkan banyak hal yang kebetulan belum sempat diajarkan guruku di sekolah. Bu Tutik mengajariku membaca puisi dan berpidato. Beliau juga mengajariku menulis surat hingga akhirnya aku pun memiliki hobi korespondensi. Aku ingat, surat pertamaku kutulis untuk Ayahku yang saat itu sedang menjalankan tugas belajar di kota gudeg. Dan banyak hal lagi yang diajarkan Bu Tutik padaku. Bu Tutik mengajarku di luar kelas, beliau mengajarku di rumah. Zaman sekarang orang-orang menyebut guru yang mengajar di rumah sebagai guru privat. Tapi sesungguhnya Bu Tutik juga bukanlah guru yang dibayar untuk memberiku les privat.
Selepas sekolah dasar aku mengenal Bu Tutik lewat orang lain. Beberapa temanku di bangku SMP, SMA dan Perguruan Tinggi ternyata adalah mantan murid-murid Bu Tutik. Oh, dunia memang hanya selebar daun kelor, pikirku selalu. Sesekali mereka bernostalgia menceritakan kenangan saat diajar Bu Tutik. Dari banyak cerita, ada satu hal yang belum pernah kudengar dari teman-temanku, yaitu bagaimana ekspresi Bu Tutik bila marah. Harusnya ini sebuah rahasia. Tapi, biarlah kuceritakan! Ketahuilah, Bu Tutik yang kukenal itu seorang yang (maaf, Bu Tutik!) sangat cerewet. Perintah atau petunjuk ini-itu selalu disampaikannya berkali-kali sampai kami melakukan atau memahaminya dengan benar. Kalau berbuat salah, kami harus bersiap diri untuk mendengar nasihatnya dari A—Z. Tapi anehnya, jika beliau masih sangat cerewet, aku justru merasa tidak takut. Karena sejauh kutahu itu artinya beliau belum benar-benar marah. Lho? Ya, begitulah! Sebab jika beliau benar-benar marah, beliau justru diam seribu bahasa. Olala! Mungkin karena takut akan diamnya itulah, kami pun biasanya lekas sadar akan kesalahan kami.
***
BUZZ!!! Laptop-ku bergetar. Nama Mas Ari muncul di layar chating pada LCD. Dahulu, Mas Ari adalah kakak tingkatku di Fakultas Teknik.
BUZZ!!!
Halo, apa kabar Mas? Tulisku menyapa Mas Ari yang online jauh di seberang lautan.
Apik-apik wae Ning. Iki lho aku arep takon!2)Menyambung chating kita kemarin… bagaimana ceritanya kok kamu bisa kenal Bu Tutik? Kulihat di wall fesbuk-mu ada fotomu bersama Bu Tutik! Begitu tulis Mas Ari.
Iya beliau kan guru idolaku. Aku juga sangat dekat dengan beliau. Tulisku bernada ‘menyombongkan diri’.
Lho tapi dia itu guruku waktu SD lho!!
Oya??? Tiga tanda tanya menyiratkan rasa terkejutku. Selama kami berteman, aku tidak pernah mengetahui fakta tersebut. Aku tahu ada beberapa teman kampusku mantan murid Bu Tutik, tapi aku tidak tahu jika Mas Ari salah satunya.