Pagi tadi saya dikejutkan dengan berita kematian aktor komedi gaek, Robin Williams. Kabarnya, dia ditemukan tewas di rumahnya di Marin County, Tiburon, California pada pukul 8 malam waktu Amerika. Hal yang lebih mengejutkan adalah dugaan bahwa kematiannya akibat bunuh diri. Sungguh tragis! Mengapa bintang kesayangan itu meninggal dengan cara demikian?
Seharian saya dibayangi pikiran seputar bunuh diri. Bintang Mork & Mindy itu dimungkinkan bunuh diri karena bipolar disorder yang dideritanya. Penderita bipolar konon bisa merasa sangat antusias dan bersemangat pada satu waktu, dan di waktu lain mendadak merasa sangat depresi dan putus asa hingga berkeinginan bunuh diri. Sungguh disayangkan, dia sangat bertalenta dan membuat dunia tertawa. Saya masih berharap bintang Mrs. Doubtfire itu meninggal secara alami. Saya selalu trenyuh membayangkan orang-orang yang bunuh diri. Bagi saya bunuh diri pun menimbulkan tanya tiada henti. Saya bahkan memiliki ketakutan tersendiri pada pernyataan “bunuh diri”.
Kecuali tahu dari berita, seperti halnya kematian Robin Williams, saya pernah berada begitu dekat dengan orang yang berniat bunuh diri. Dulu seorang sahabat dekat menelepon di tengah malam dan “pamit” hendak bunuh diri. Oh Tuhan! Ketika itu saya demikian ketakutan dan tidak tahu harus berbuat apa. Seingat saya hanya kata-kata “sok bijak” yang mampu meluncur dari mulut saya sembari turut hanyut dalam tangis. Bunuh diri itu bertentangan dengan kehendak Tuhan; pasti ada jalan keluar untuk masalah kita; banyak orang memiliki masalah jauh lebih besar dari kita; dan entah apa lagi. Syukurlah, akhirnya dia mengurungkan niat buruknya.
Kejadian itu sudah nyaris terlupa saat kemudian kejadian serupa menghampiri. Saat saya sendirian menjaga rumah seorang keluarga, tiba-tiba datang seorang kerabat bersama anaknya yang masih balita. Katanya dia baru saja diusir dari rumah orang tuanya. Lalu sembari menangis hebat dia bercerita tentang segala kerumitan hidupnya semenjak suaminya pergi meninggalkannya. Mula-mula saya masih bisa menentramkan dan meredakan tangisnya. Kamu harus kuat demi anakmu; kalian makan dan tidur dulu besok kita cari jalan keluarnya; dan banyak lagi “nasihatku”.
Usai makan, entah bagaimana tangisnya kembali menghebat dan mendadak dia bilang hendak bunuh diri sembari mengincar sebotol antinyamuk yang tergeletak di bawah tangga. Tingkahnya membuat saya shock dan ketakutan. Hujan lebat yang turun malam itu seolah melengkapinya. Saat itu saya teringat cerita sahabat yang tidak berhasil dalam upaya bunuh dirinya. Usai minum antinyamuk dia harus melewati masa kritis hingga mukjizat Tuhan memulihkannya. Ingatan akan kisah itu membuat saya semakin ketakutan dan sontak emosi saya meledak lalu melontarkan amarah pada kerabat saya itu. “Kalau mau bunuh diri jangan di sini! Ya kalau nanti kamu langsung mati, kalau tidak bagaimana? Saya tidak mau jadi urusan polisi!” Ah, mungkin kata-kata saya terdengar kasar dan egois, tapi saat itu saya benar-benar sangat ketakutan.
Singkat cerita setelah emosi saya sendiri surut, saya mengajaknya bicara baik-baik hingga dia pun bersedia membawa anaknya tidur. Namun sepanjang malam itu saya terus-menerus was-was dan ketakutan dia akan bunuh diri tanpa sepengetahuan saya. Puji Tuhan, ketakutan itu tidak terjadi. Dia dan anaknya bangun pagi dalam keadaan sehat. Meski dia urung bunuh diri, trauma saya menghadapi orang yang “pamit bunuh diri” tak bisa hilang.
Hingga kini pun saya masih tak habis pikir. Haruskah bunuh diri menjadi jalan terakhir? Apa yang sebelumnya dipikirkan orang-orang yang bunuh diri? Bukankah bunuh diri juga menyisakan duka sekaligus masalah bagi yang ditinggalkan? Tidakkah terpikir pula oleh mereka bahwa mengakhiri hidup sama artinya merebut hak prerogarif Tuhan? [@dwiklarasari]
Semarang, 12 Agustus 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H