Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Gerdema: Sebuah Paradigma Baru Membangun Indonesia

30 November 2014   20:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:26 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1417328128648683141

[caption id="attachment_356964" align="aligncenter" width="252" caption="Kover buku "][/caption]

Judul Buku:Revolusi dari Desa(Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya pada Rakyat)

Penulis:Dr. Yansen TP., M.Si

Editor:Dodi Mawardi

Penerbit:PT Elex Media Komputindo (Kelompok Gramedia)

Tahun :I, Oktober 2014

ISBN:978-602-02-5099-1

Tebal:xxviii+180



Melihat pesatnya pembangunan di kota-kota besar, membaca pertumbuhan ekonomi dan kenaikan pendapatan per kapita, sebagian orang mengira pembangunan Indonesia telah mencapai keberhasilan. Namun, bila lebih cermat mengamati sudut-sudut kumuh kota, pergi ke pelosok-pelosok negeri atau menyambangi desa-desa terpencil, kita akan menemui masih banyak titik-titik kemiskinan. Setelah hampir 70 tahun merdeka, Indonesia masih terus dibayangi oleh masalah yang sama, yaitu kemiskinan dan pengangguran. Pembangunan di negeri ini belum sepenuhnya berhasil.



Lho bagaimana bisa, bukankah kegiatan pembangunan di Indonesia “tidak pernah ada matinya”? Apa yang salah dan apa yang harus dilakukan? Jawabannya: ada yang kurang tepat dalam penerapan pola pembangunan dan yang harus dilakukan adalah gerakan “revolusi”! Demikian salah satu poin penting yang saya tangkap setelah membaca buku bertajuk “Revolusi dari Desa, Saatnya dalam Pembangunan Percaya pada Rakyat” besutanDr. Yansen TP., M.Si.,Bupati Kabupaten Malinau Kalimantan Utara masa jabatan 2011–2016. Bagi Yansen gerakan “Revolusi Mental” yang terus-menerus digaungkan Presiden Joko Widodo bukanlah hal baru. Sebab, selama ini gerakan dengan ruh yang sama telah dilakukannya. Bupati daerah perbatasan ini “merevolusi” pola pembangunan yang selama ini dianggapnya kurang tepat. Lewat buku terbitan PT Elex Media Komputindo ini sang Bupati menuliskan tentang "gerakan revolusionernya" tersebut.



Dalam Bab Pendahuluan, gagasan revolusioner sang Bupati disebut sebagai bentuk “gugatan” atas konsep pembangunan yang ada. Ditengarai bahwa sejak periode Orde Lama hingga Era Reformasi, pola pembangunan di Indonesia tidak pernah berubah. Model, konsep, dan strategi pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah pusat maupun daerah tidak membuahkan hasil yang signifikan. Menurut Yansen, ketidakberhasilan itu karena konsep pembangunan yang diterapkan senantiasa melihat dan menempatkan masyarakat hanya sebagai objek dan pihak yang lemah. Alhasil, berbagai kebijakan yang diterapkan cenderung tidak menyentuh persoalan mendasar dalam masyarakat, bahkan banyak yang tidak tepat dan justru melahirkan kerumitan baru. “Ganti pemerintahan, ganti pula aturannya, tapi intinya sama. Cara berpikirnya tetap sama, sehingga masalah kemiskinan tidak pernah teratasi. Aneh! Seolah-olah kita tidak punya solusi lain untuk mengatasi kemiskinan.” (hlmn. 5). Dalam “aksi gugatan”, Yansen pun berupaya merevolusi pola pembangunan, menggagas pola berbeda untuk mencapai hasil yang lebih baik. Pola pikir itu seturut kalimat bijak Einstein yang selalu diingatnya:Insanity is doing the same thing over and over again and expecting different results.” Atau dalam ungkapan Yansen: “Anda tidak bisa berharap hasil yang berbeda, jika cara yang Anda lakukan itu-itu juga.” (hlmn. 6). Prinsipnya, harus ada revolusi!



Gerakan revolusi ala Yansen diawali dengan perubahan paradigma, sebab ia yakin paradigma yang tepat memberi hasil lebih baik. Sejauh pengamatannya, pemerintah telah menerapkan berbagai paradigma pembangunan yang meski saling melengkapi namun belum menunjukkan keberhasilan. Berdasarkan permenungannya sepanjang menjabat sebagai camat, sekretaris daerah hingga bupati, Yansen menyimpulkan bahwa pembangunan hanya akan berhasil jika masyarakat terlibat. Masyarakat harus diberi kepercayaan serta didorong untuk berpartisipasi aktif, sementara pemerintah bertugas membimbing dan memberikan dukungan. Yansen pun menggagas sebuah “paradigma baru” yang disebutnya Gerakan Desa Membangun (GERDEMA). Apa keistimewaan paradigma ini? GERDEMA merupakan perilaku kebijakan inovatif yang percaya sepenuhnya kepada masyarakat desa. Suatu keyakinan bahwa apabila diberi kepercayaan dan tanggung jawab yang jelas, maka masyarakat desa pasti akan mengemban kepercataan itu dengan baik. Jika masyarakat desa dapat dipercaya, dibina, dibentuk kemampuannya maka mereka menjadi terampil untuk menjalankan tugas dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan desa. Hasilnya, niscaya pembangunan akan lebih apresiatif melahirkan kekuatan besar dalam mewujudkan perubahan yang maju dan sejahtera. (hlmn. 13-14).



Jika pada paradigma sebelumnya masyarakat hanya dipandang sebagai objek pembangunan yang lemah maka dalam GERDEMA masyarakat memainkan peran utama sebagai pelaku pembangunan yang memiliki kekuatan dan berdaya saing. Gerakan Desa Membangun sangat memerhatikan sumber daya setempat (alam dan manusia) serta mengakomodasi kearifan lokal (ilmu pengetahuan, teknologi serta budaya lokal). GERDEMA menjalankan pembangunan berbasis pedesaan. Pemerintahan Desa tak lagi sekadar menjalankan tugas administratif, namun menjadi ujung tombak bagi pemberdayaan kekuatan/potensi masyarakatnya. Aparat Desa tak lagi menunggu perintah dari pusat tetapi bergerak aktif bersama masyarakatnya memulai pembangunan di wilayahnya. Karena semua masalah pembangunan terletak di desa, maka focus pembangunan harus dimulai dari desa. (hlmn. 41)

Dalam implementasi program GERDEMA Pemerintah Kabupaten Malinau telah mengalirkan APBDes untuk 109 desa di bawahnya, danmemberi peluang Aparat Desa untuk melaksanakan program pembangunannya secara otonom, dari perencanaan hingga pelaksanaan dan pelaporannya. Hebatnya, GERDEMA yang diterapkan di Malinau sejak tahun 2012 konon merupakan implementasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yang justru lahir dua tahun kemudian. Jadi pengesahan UU tersebut tidak membawa “kehebohan” baru. Sebab, Kabupaten yang berbatasan dengan wilayah Malaysia itu telah memulainya lebih dahulu! Bahkan pada tahun 2013 konsep GERDEMA di Malinau menerima penghargaan Innovative Government Award dari Kementerian Dalam Negeri. Oleh karena itu, tak ada salahnya bila daerah-daerah lain mulai mencoba mengimplementasikan GERDEMA sebagai paradigma baru dalam membangun Indonesia dari sistem pemerintahan terbawah, dan Kabupaten Malinau bisa dijadikan panutan.



Begitulah dalam tujuh bab buku ini pembaca bukan hanya disuguhi teori ataupun wacana. Konsep dan mekanisme pelaksanaan GERDEMA, termasuk cara mengindikasi keberhasilannya, diungkap Yansen dengan lugas dan tuntas. Meski berawal dari disertasi doktoralnya, namun gagasan GERDEMA telah direalisasikan dan terbukti mulai membawa perubahan ke arah positif. Dalam bab terakhir, bahkan disajikan rekam jejak yang menggambarkan kondisi Kabupaten “Perbatasan” Malinau yang dipimpinnya sebelum dan sesudah penerapan GERDEMA. Keberhasilan Malinau menurunkan tingkat kemiskinan menjadi jendela untuk menengok berbagai keberhasilan lain. Bukan hanya keberhasilan pembangunan fisik dan ekonomi namun lebih pada lahirnya mental baru masyarakat yang lebih baik. Kini masyarakat desa telah melek pembangunan, mereka bersemangat untuk membangun diri dan desanya. Pemimpin dan segenap aparatur pemerintahan pun semakin disiplin dan memberikan pelayanan yang jauh lebih baik. Pemerintah Daerah, Aparat Desa dan Masyarakat Desa bersinergi membangun Desa. Dengan kata lain, di Malinau “Revolusi Mental” ala Presiden Jokowi sebenarnya sudah bersinergi dengan “Revolusi dari Desa” ala Yansen. Pembuktian tersebut semestinya membuka mata pemerintah untuk tidak ragu memberi kepercayaan penuh pada rakyat, dalam konteks ini masyarakat desa.



Walaupun digolongkan dalam kelompok Manajemen dan Bisnis, tuturan dalam buku ini cukup membumi serta relatif mudah diterima. Gaya bahasa yang lugas dan poin-poin yang runtut memudahkan pembaca untuk mencerna dengan baik. Yang terpenting, banyak hal bisa dipelajari dari buku ini: Dan sebagaimana harapan penulis yang sempat terungkap dalam Bab Pendahuluan, saya sepakat bahwa buku ini layak menjadi panduan bagi para pejabat publik dari tingkat desa hingga pusat, para pemangku kepentingan (stakeholders) serta berbagai pihak lain, dan terlebih lagi bagi generasi muda pemegang estafet pembangunan Indonesia.

Selamat Membaca! #SalamRevolusi.

Depok, 29 November 2014. [@dwiklarasari]

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun