"Ning, morning! Aku mau cetak Jejak Cinta dalam versi bahasa Inggris ..."
Kira-kira demikian penggalan pesan WhatsApp dari penulis buku Jejak Cinta. Kabar yang sontak membuat saya semakin kagum pada sosok perempuan paruh baya itu. Saya yang sebelumnya dipercaya menyunting buku Jejak Cinta tersebut tentu ikut bahagia sekaligus bangga.
Jejak Cinta terbit secara mandiri pada Februari 2020. Pencetakan ulang dilakukan pada Mei 2020. Belum ada setahun ketika penulis menggaungkan hasratnya untuk menerjemahkan buku tersebut ke dalam bahasa Inggris. Gokil nih! Mungkin begitu ekspresi generasi kiwari.
Saya benar-benar harus angkat topi lebih tinggi.Â
Buku yang pernah direviu oleh Kompasianer Yohanes Budi dengan judul Napak Tilas Rintisan Pendidikan Perempuan di Indonesia ini berkisah tentang perempuan-perempuan tangguh yang rela meninggalkan zona nyaman demi misi pendidikan di "dunia primitif" bernama Hinda Belanda (kini Indonesia) Â
Membicarakan Jejak Cinta selalu terasa aktual. Demikian halnya bila kita menyelisik hasrat sang penulis. Bahkan saat ini masih cukup relevan mengingat 8 Maret 2021 lalu diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional (International Women's Day).
***
Demikian blurb yang ditulis pada sampul belakang buku Jejak Cinta. Lewat "promosi singkat" tersebut pembaca diberi gambaran bahwa isi buku bukan sekadar ihwal kelahiran sebuah instansi pendidikan.
Buku bergenre sejarah dengan judul cukup romantis ini juga mengisahkan kehidupan tokoh-tokohnya sebagai pribadi-pribadi berkarakter. Pembaca disuguhi kisah-kisah heroik para pionir Ursulin Indonesia dipadukan aspek-aspek individual yang sangat manusiawi.Â