"Di sana, mereka diterima seperti saat mereka diusir. Kedatangan mereka menuai kecam. ..., sedangkan dua ekor kerbau ditambah dua ekor kuda bukan nilai belis yang seimbang. Jumlah seperti itu tidak berarti apa-apa. ... Mana mungkin belis seorang anak bangsawan ditambah ungkapan 'tutup malu' hanya empat ekor saja, begitu logika penolakan keluarga Ros (hlm. 227-228).
Belis adalah maskawin atau mahar yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada keluarga mempelai wanita. Tradisi belis dijumpai dalam sebagian besar masyarakat di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), seperti Flores, Rote, dan Sumba. Secara filosofis, belis menjadi bentuk penghargaan pria bagi mempelai wanita, juga bagi keluarganya.
Belis bermacam-macam wujudnya. Mulai kain adat, gading hingga hewan ternak, seperti kerbau, babi, kuda, dan kambing. Wujud dan jumlah belis tergantung permintaan keluarga perempuan yang dipengaruhi status sosialnya.
Selain memiliki nilai filosofis yang sangat tinggi, belis juga merujuk pada nominal. Oleh sebab itu, tidak heran bila terdapat mempelai pria yang tak sanggup membayar belis, dan akhirnya menjadi hutang seumur hidup.Â
Ketidakmampuan membayar belis inilah konflik besar yang diangkat dalam novel setebal 278 halaman bertajuk Belis Imamat besutan Inyo Soro.
Pit, pemuda dari kaum jelata tidak sanggup membayar belis kepada keluarga Ros, tambatan hatinya putri dari kelas bangsawan. Tak ada restu sama sekali. Penolakan kuat dari keluarga Ros membuat Pit dan Ros meninggalkan Sumba, tanah leluhur mereka.
Tragisnya, kepergian mereka puluhan tahun yang lalu bukan dalam situasi damai. Sebaliknya, melalui sebuah drama pengusiran karena hubungan keduanya dianggap terlarang. Hutang belis setara sepuluh ekor kerbau atau sapi bahkan menghalangi Pit membawa Ros dan anak-anaknya kembali ke kampung halaman mereka.
Konon, sampai kapan pun hubungan Pit-Ros dengan keluarga Ros tidak akan terpulihkan kecuali hutang belis sebagai kepenuhan adat terlunasi.
Manisnya kisah cinta Pit dan Ros yang berakhir duka adalah flash back yang hadir bersama lika-liku perjalanan hidup para frater-terutama tokoh Aku yang berjuluk Iting atau Rus. Para frater yang tergabung dalam Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini-SVD) tersebut menempati sebuah biara di Ledalero, di Pulau Bunga-arti kata 'Flores'.
Seperti umumnya kehidupan biara, tokoh Aku dkk. terikat kaul dan berbagai aturan serta rutinitas doa sepanjang hari. Doa ibarat aliran air sungai yang tiada henti, bergaung sejak pagi buta hingga larut malam. Pagi hari mereka melakukan doa pagi, meditasi, lalu perayaan ekaristi. Pemeriksaan batin pada siang hari; vesper pada sore hari; dan completorium sebagai penutup hari.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!