Ada dua sosok hebat dalam hidupku. Seorang ibu, dan satu lagi adalah ayahku. Setelah beranjak besar dan bisa memahami keduanya, aku mengenal ayah sebagai pekerja keras yang tiada kenal lelah.
Ayah berjuang dengan segala cara demi menghidupi keluarga. Ayah rela menjadi apa pun demi masa depan buah hatinya. Ayah malaikat penolong keluarga.
Seiring berjalannya waktu, tak mengejutkan bila kami tampak serupa. Bukan sekadar benih kehidupan, ayah juga penurun bakat. Kutemukan potongan-potongan puzzle sosok ayah ketika melihat ke dalam diri.
Ayahku lebih dulu melakukan apa yang dibilang orang sebagai bakatku. Bagi teman-temanku, ayahku hanya salah satu guru mata pelajaran di sekolah. Bagiku ia guru multitalenta sepanjang hidupku.
Meskipun tak terucap dalam kata, lewat perjuangannya ia ajarkan banyak ilmu. Dengan beragam cara ia menuntun dan mendorong anak-anaknya. Ayahku membangun pondasi kuat dalam diri kami hingga tak mudah menyerah. Sama sepertinya yang selalu tangguh menghadapi setiap badai kehidupan. Â
Bila semenjak kecil aku suka merangkai abjad, mungkin karena ayahku suka berliterasi. Puluhan angka penanda usia tak pernah jadi penghalang baginya. Ayahku pembelajar sejati hingga masa senja. Setiap hari kuterima renungan pagi yang ditulisnya dengan tekun.
Syukur pada Tuhan karena memberikan ayah sepertimu. Mungkin tak banyak bait puisi kutulis untukmu. Mungkin tak cukup kutunjukkan pada dunia betapa hebatnya dirimu. Namun engkaulah satu dari cahaya terang penuntun langkahku.
Bakti anakmu ini takkan setara dengan kasih dan jasamu, tetapi sungguh tiada terukur rasa terima kasihku. Apa pun yang terjadi ku kan selalu mencintaimu, Ayah. Namamu ada dalam setiap doa. Kumohon pada Sang Mahakasih untuk sehat dan bahagiamu di hari tua. Â
Depok, 26 September 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H