'Donor darah itu membuat tubuh lebih sehat' demikian penjelasan Rado saat dahulu membujuk Murni untuk jadi pendonor darah. Dokter muda aktivis karya kemanusiaan itu lantas mengajak Murni bergabung dalam komunitas pendonor darah langka.Â
'Orang-orang berdarah langka seperti kita sering kali kesulitan cari pendonor, bahkan meskipun telah berada di ujung maut. Kita harus saling menolong' begitu bujukannya. Hati Murni tergerak.Â
Nyatanya setelah beberapa tahun menjadi pendonor, hidup Murni tampak lebih bahagia. Misi komunitas tak hanya mendonorkan darah, tetapi juga saling meneguhkan serta berbagi kasih. Murni seperti menemukan keluarga baru. Kelamnya masa lalu nyaris tak lagi diingatnya.
"Sudah sampai rumah sakit Non? Cepat temui aku di depan IGD!" suara Rado di ujung telepon memberi instruksi. Murni mematikan ponsel dan bergegas meninggalkan lapangan parkir. Wajahnya yang ayu terlihat berseri-seri.Â
Ia selalu menjaga kondisi fisik dan stamina agar darahnya siap diambil bilamana mungkin. Menjadi pendonor dadakan bukan hal baru baginya. Bahagia bisa menolong sesama, ungkapnya selalu. Melihat ketulusannnya, bahkan jarum suntik pun seolah-olah segan memberinya rasa sakit.
Di depan ruang gawat darurat, langkah Murni terhenti. Dari dinding kaca terpantul sosok pria tujuh puluhan yang terbaring tak sadarkan diri. Sesaat mesin waktu mengirim kembali tragedi yang nyaris terkubur dalam benaknya.Â
Ibunya meninggal dalam usia muda. Ibunya mati merana. Suaminya, pria yang terbaring di atas brankar itulah yang membuatnya merana. Pria itu meragukan cintanya, bahkan mengusirnya dengan tuduhan berselingkuh. Puteri yang mewarisi darah langka dari tubuhnya pun tak pernah diakui sebagai darah dagingnya.Â
Dari balik kaca Murni kembali menelusuri tubuh tua penuh luka itu. Dadanya terasa sesak. Batinnya berperang hebat. Haruskah kudonorkan darahku? Masih perlukah pria itu kusebut sesama manusia?Â
Depok, 24 Agustus 2020
Catatan: Cerpen ini pernah diterbitkan dalam kumpulan Pentigraf