Ketika tengah mengalami minggu-minggu yang buruk, tiba-tiba suatu hari aku menerima sepucuk surat tanpa nama pengirim. Surat kaleng! Mungkinkah berisi ancaman atau sejenisnya? Dengan gusar kubuka amplop pembungkusnya, dan kutarik folio berlipat tiga.
Entah bagaimana, kegusaranku mendadak luluh oleh salam damai yang mengawali surat tersebut. Pelan-pelan kubaca sederet perhatian si pengirim surat, teguran lembut dalam nada persahabatan seraya ajakan untuk merenung dan mawas diri. Nasihat dan dukungannya sungguh menyejukkan hati.
Kuhela nafas dalam lalu kulepas seraya tersenyum bahagia. Penulis surat kaleng itu adalah aku sendiri. Namaku tertera di akhir surat. Sekejap kuteringat tugas yang diberikan saat mengikuti retret beberapa bulan sebelumnya. Romo pembimbing meminta kami melakukan introspeksi diri, kemudian menuliskan teguran sekaligus nasihat untuk diri-sendiri dengan kata-kata indah. Tak lupa pula menyertakan dukungan moral. Â
Tak mudah menegur diri sendiri, apalagi jika harus mendapat nasihat atau teguran dari orang lain. Terlebih lagi bila kita terlalu jemawa. Tugas retret yang sudah terlupa yang datang dalam rupa surat kaleng itu selalu menjadi sebuah permenungan. Mencintai dan peduli pada diri sendiri termasuk di dalamnya adalah bersedia menerima teguran demi menjadi pribadi yang lebih baik. Â
Depok, 3 Juli 2020
Catatan:Â tulisan ini merupakan kenangan retret bersama Alm. Rm Gerardus Koelman, SJ di Panti Semedi, Sangkalputung, Klaten, Jawa Tengah.
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H