“Sorry guys besok gue tidak ikut meeting. Ada job mendadak and tak mungkin di-cancel. Gue tahu last meeting ini urgent banget, makanya gue bakal online 24 jam and ready to call kapan saja!” kata pria perlente itu, kemudian mematikan ponsel pintarnya dengan jemawa.
Mendengar percakapan seperti kalimat di atas, saya pun lantas teringat kembali pada diskusi buku yang saya ikuti bulan September lalu dalam perhelatan Indonesia International Book Fair (IIBF).
Narasumbernya adalah Ivan Lanin, seorang wikipediawan, praktisi teknologi informasi sekaligus pemerhati dan peminat bahasa Indonesia. Topik obrolan dalam diskusi adalah tentang fenomena xenoglosofilia yang dilatarbelakangi oleh buku baru Ivan Lanin berjudul Xenoglosofila: Kenapa Harus Nginggris? (Penerbit Buku Kompas, 2018).
Xenoglosofilia diartikan sebagai “kesukaan yang berlebihan terhadap bahasa asing”. Ada tiga kata yang membentuk istilah ini, yaitu xeno yang berarti asing, gloso yang berarti bahasa, dan filia yang berarti suka.
Menurut Ivan Lanin, seorang xenoglosofilia cenderung mencampurkan istilah-istilah bahasa asing—dalam hal ini bahasa Inggris—ke dalam bahasa Indonesia ketika yang bersangkutan berkomunikasi.
Dari penjelasan pegiat bahasa Indonesia tersebut saya menyimpulkan bahwa kesukaan yang berlebihan terhadap bahasa asing tidak selalu berarti bahwa yang bersangkutan ahli atau sangat memahami bahasa asing terkait. Sebaliknya, fenomena xenoglosofilia diduga terjadi akibat kurangnya pengetahuan seseorang akan padanan kosakata asing dalam bahasa Indonesia yang benar.
Alih-alih menuai cibiran, kurangnya pengetahuan tersebut justru didukung oleh kebiasaan yang ada dalam suatu kelompok masyarakat atau lingkungan pergaulan tertentu.
Harus diakui bahwa masyarakat cenderung menganggap seseorang lebih intelektual bila yang bersangkutan banyak menggunakan kosakata bahasa Inggris dalam berbicara. Kalau bukan pandangan dari pihak lain, setidaknya individu bersangkutanlah yang merasa dirinya lebih berkelas, bergengsi, atau merasa lebih keren bila menyelipkan banyak kosakata Inggris dalam setiap ujarannya.
Kemudian saya buru-buru introspeksi, apakah saya juga seorang xenoglosofilia seperti pria perlente dalam ilustrasi pada awal artikel. Faktanya, secara sadar atau tidak, saya pun acap kali menyelipkan kata-kata bahasa Inggris atau bahasa asing lain dalam percakapan sehari-hari atau saat berkomentar di media sosial.
Kadang kala secara sadar (sejujurnya) saya melakukannya demi menciptakan keakraban dengan lawan bicara, terlebih lagi kelompok milenial, seperti para keponakan yang beranjak remaja. Tentu ini bukan alasan yang bisa diterima ya? Namun bersyukur karena dalam bahasa tulis resmi, saya masih berusaha menemukan padanan bahasa Indonesia.