Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Apakah Saya Seorang Xenoglosofilia?

27 Oktober 2018   13:17 Diperbarui: 27 Oktober 2018   15:21 1617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: shutterstock

Sorry guys besok gue tidak ikut meeting. Ada job mendadak and tak mungkin di-cancel. Gue tahu last meeting ini urgent banget, makanya gue bakal online 24 jam and ready to call kapan saja!” kata pria perlente itu, kemudian mematikan ponsel pintarnya dengan jemawa.

Mendengar percakapan seperti kalimat di atas, saya pun lantas teringat kembali pada diskusi buku yang saya ikuti bulan September lalu dalam perhelatan Indonesia International Book Fair (IIBF). 

Narasumbernya adalah Ivan Lanin, seorang wikipediawan, praktisi teknologi informasi sekaligus pemerhati dan peminat bahasa Indonesia. Topik obrolan dalam diskusi adalah tentang fenomena xenoglosofilia yang dilatarbelakangi oleh buku baru Ivan Lanin berjudul Xenoglosofila: Kenapa Harus Nginggris? (Penerbit Buku Kompas, 2018). 

Xenoglosofilia diartikan sebagai “kesukaan yang berlebihan terhadap bahasa asing”. Ada tiga kata yang membentuk istilah ini, yaitu xeno yang berarti asing, gloso yang berarti bahasa, dan filia yang berarti suka. 

Menurut Ivan Lanin, seorang xenoglosofilia cenderung mencampurkan istilah-istilah bahasa asing—dalam hal ini bahasa Inggris—ke dalam bahasa Indonesia ketika yang bersangkutan berkomunikasi.  

Dari penjelasan pegiat bahasa Indonesia tersebut saya menyimpulkan bahwa kesukaan yang berlebihan terhadap bahasa asing tidak selalu berarti bahwa yang bersangkutan ahli atau sangat memahami bahasa asing terkait. Sebaliknya, fenomena xenoglosofilia diduga terjadi akibat kurangnya pengetahuan seseorang akan padanan kosakata asing dalam bahasa Indonesia yang benar.

Alih-alih menuai cibiran, kurangnya pengetahuan tersebut justru didukung oleh kebiasaan yang ada dalam suatu kelompok masyarakat atau lingkungan pergaulan tertentu. 

Harus diakui bahwa masyarakat cenderung menganggap seseorang lebih intelektual bila yang bersangkutan banyak menggunakan kosakata bahasa Inggris dalam berbicara. Kalau bukan pandangan dari pihak lain, setidaknya individu bersangkutanlah yang merasa dirinya lebih berkelas, bergengsi, atau merasa lebih keren bila menyelipkan banyak kosakata Inggris dalam setiap ujarannya. 

Sumber foto: https://id.kisspng.com
Sumber foto: https://id.kisspng.com
Menurut saya fenomena xenoglosofilia ini bukan mutlak 100% kesalahan penutur bahasa Indonesia kiwari. Ivan pun agaknya tidak menampik bahwa masih banyak kata-kata bahasa asing yang belum ditemukan padanannya (secara tepat) dalam bahasa Indonesia.

Kemudian saya buru-buru introspeksi, apakah saya juga seorang xenoglosofilia seperti pria perlente dalam ilustrasi pada awal artikel. Faktanya, secara sadar atau tidak, saya pun acap kali menyelipkan kata-kata bahasa Inggris atau bahasa asing lain dalam percakapan sehari-hari atau saat berkomentar di media sosial.

Kadang kala secara sadar (sejujurnya) saya melakukannya demi menciptakan keakraban dengan lawan bicara, terlebih lagi kelompok milenial, seperti para keponakan yang beranjak remaja. Tentu ini bukan alasan yang bisa diterima ya? Namun bersyukur karena dalam bahasa tulis resmi, saya masih berusaha menemukan padanan bahasa Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun