Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lembaran Merah Soekarno-Hatta

25 Oktober 2018   10:57 Diperbarui: 25 Oktober 2018   13:43 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Seikhlasnya Mbak." Jawaban tukang ojek menghentikan gerakan tanganku di mulut dompet. Ketika minta diantar aku memang tak sempat bertanya ongkos. 

Terhipnotis oleh tatapan sayu dari wajah keriputnya, aku terima saja ketika tangannya yang tak kalah keriput mengangsurkan helm. Sorot matanya seolah mengirim pesan tentang kesusahan hidup yang mengetuk kuat hati keciku. Aneh, kenapa ia tidak mematok bayaran? Aku tak habis pikir! Akhirnya, kuikhlaskan lembaran merah Soekarno-Hatta tanpa meminta kembalian. 

Sesaat mata tuanya menatapku tak percaya, lalu perlahan tampak berbinar-binar. Ia menengadah dengan tangan terkatup sebagai tanda syukur. Lalu, dengan senyum semringah berkali-kali ia menjura padaku seraya berterima kasih juga memberiku bonus berkat dan doa agar aku selalu bahagia.

Aku tercenung dalam tanya. Semudah itukah orang bersahaja bahagia? Hanya dengan lembaran merah yang biasa kuhabiskan di kafe dalam hitungan detik? Seumur hidup belum pernah kubuat orang lain sedemikian bahagia hanya dengan selembar Soekarno-Hatta. 

Ekspresi teman-temanku bahkan biasa saja meskipun usai kutraktir dengan berlembar-lembar uang kertas nominal terbesar. Bisikan terima kasih pun tak akan terucap. Traktiran hanya bagian dari pertemanan. No duit, no cinta, kata mereka.  

Masih terbawa lamunan, kuraih kamera di meja kerja. Kuarahkan lensa panjangnya ke jalanan di antara pencakar langit. Kurekam keramaian pagi di sudut-sudut jalan. Kuabadikan ragam ekspresi penuh semangat pagi. 

Tiba-tiba lensaku menangkap kerumunan orang di dekat pangkalan ojek tak jauh dari kantorku. Ada kecelakaan. Kulihat sebuah motor butut yang hancur teronggok tak jauh dari kerumunan. Ada helm biru dengan stiker lambang negara, persis seperti milik tukang ojek yang tadi mengantarku. Seketika jantungku berdegup kencang. 

Perasaanku tak nyaman. Aku bergegas turun ke lantai dasar dan berlari keluar gedung. Saat berhasil menerobos kerumunan, kudapati tubuh pak tua sudah terbujur kaku bersimbah darah. Dari celana lusuhnya menyembul lembaran merah Soekarno-Hatta. Tubuhku terasa lunglai.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun