"Ning, kemari!" Ayah berbisik memanggilku dalam ketergesaan. Sudah dua hari tak seorang pun berani menggangguku, bahkan untuk sekadar mengajak makan. Besok adalah batas waktu penyerahan hasil liputanku, sebelum majalah naik cetak. Namun, misteriusnya panggilan ayah membuatku penasaran dan beranjak.
Ayah bertanya kalau-kalau kudengar sesuatu. Kata "sesuatu" yang dibisikkannya membangkitkan rasa takut hingga bulu kudukku berdiri. Kusebut satu per satu suara yang sejak pagi berebut menyerbu gendang telingaku. Suara radio; ketukan gusar jemariku pada keyboard; berisik kipas angin tua; dan sesekali suara kendaraan. Ayah menggeleng. Katanya, suara itu berasal dari dapur. Aku semakin merinding.
Ayahku memang bisa melihat sosok dan mendengar suara dari dunia lain. Namun, di siang bolong begini, haruskah aku takut? Nyatanya, suara adzan pun tak mampu menepis ketakutanku. Otakku bahkan berpikir liar. Kenapa makhluk dunia lain tak sabar menunggu hari gelap? Adakah yang harus segera disampaikannya? Â Â Â
Kutarik napas dalam-dalam, lalu kuembuskan perlahan. Kucoba berkonsentrasi menajamkan pendengaran dan memperkuat naluri demi menangkap suara yang lebih lembut. Nihil! Hanya ada detak jam dinding ditingkahi resah hatiku karena diburu dead line. "Ada orang sedang memasak," bisik ayahku. Akhirnya, aku mengerti suara apa yang dimaksudkan ayah. Â
Meskipun tidak mendengar, sekejap aku dapat merasakan kehadiran ibuku. Dahulu ibu selalu sibuk memasak camilan untuk kami. Rasa takut itu lenyap, tetapi aku lantas tercenung. OMG, dead line telah membuatku melupakan hal penting. Hari ini tujuh tahun lalu, ibuku berpulang. Mungkinkah ibu datang hendak mengingatkan agar aku tak lupa membawa seikat bunga ke makamnya? "Aku akan datang, Bu!" bisikku pelan berselimut sesal. Â
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H