Tak bisa dimungkiri bahwa tanpa disadari guru sering terjebak sekadar mentransfer pengetahuan pada anak didik. Desain pembelajaran, misalnya, tidak disesuaikan dengan kebutuhan anak didik, namun dibuat menurut kepentingan guru (metode pengajaran yang disukai, metode penilaian yang tidak merepotkan, dsb.). Padahal semestinya, pembelajaran adalah untuk anak bukan untuk guru.Â
Ungkapan di atas adalah sebuah swa-kritik yang terbangun dari refleksi seorang guru dalam pergulatannya sebagai pendidik di sebuah Sekolah Menengah Atas (SMA) di Semarang. Ia kemudian menuliskan pergulatannya tersebut dalam sebuah buku, #The_Educatorship -- Seni Memanusiakan Wajah Pendidikan, yang dihadirkan oleh Penerbit Kanisius pada pertengahan 2016. Refleksi di atas hanyalah satu dari 37 topik dalam bukunya, dan saya rasa baik refleksi tersebut maupun buku yang ditulisnya masih sangat relevan untuk dibaca hari ini. Bagaimanapun, demi masa depan generasi muda bangsa ini, kita tentu sepakat untuk melakukan penyempurnaan pendidikan di negeri ini dari berbagai aspek, termasuk aspek pendidiknya.Â
Dalam bukunya, penulis- F.X. Aris Wahyu Prasetyo- menguraikan serta merefleksikan roh pendidikan, yaitu pendidik dan semangat kependidikannya. Melalui buku ini penulis ingin pengalamannya dapat menginspirasi rekan-rekan guru untuk tidak sekadar menjadi pengajar (teacher) namun terlebih sebagai pendidik (educator). Bahwa lewat proses pembelajaran yang dirancang secara tepat, guru akan menampilkan wajah pendidikan yang lebih humanis. Dengan keyakinan memanusiakan manusia dalam dunia pendidikan, penulis menyebarkan semangat kependidikannya. Menurutnya, menjadi guru bisa jadi sebuah profesi, namun menjadi guru sebagai pendidik pastinya sebuah seni. Ia mengajak para guru memainkan seni kehidupan demi menyelamatkan pendidikan di negara ini (hal 9).Â
Buku setebal 216 halaman ini membagikan model pembelajaran yang berfokus pada anak didik, yang dirancang secara kreatif, inovatif, variatif, juga menyentuh hati. Alhasil belajar menjadi sebuah kegiatan yang menyenangkan bagi siswa. Untuk memahami materi, ada kalanya siswa diajak menonton televisi atau menonton film. Di lain waktu mereka diajak bernyanyi, bermain drama; berdebat atau bermusyawarah; berimajinasi; melakukan penelitian/eksplorasi; membuat film, membuat pameran, menulis dan menerbitkan koran; dan sebagainya. Metode belajar demikian membuat siswa jauh lebih antusias, terlebih bila dibandingkan dengan mendengarkan ceramah guru terus-menerus, yang cenderung membosankan.
Selain menggairahkan, model belajar yang ditawarkan juga berupaya mengembangkan aspek kemanusiaan siswa secara lebih menyeluruh. Bukan hanya aspek intelektual, namun juga sosial, moral, spriritual, afeksi, dll. Misalnya, bagaimana menjadi manusia berbudaya (hal 23-27); memiliki sikap menghargai karya orang lain (hal 28-33), Â sikap bertanggung jawab (hal 34-38), dan sikap peduli pada sesama (hal 39-44); menyadari makna keluarga (hal 147-151); peduli pada lingkungan tempat tinggalnya (hal 186-190); dan sebagainya. Hal menonjol dari model belajar dalam #The_Educatorship adalah ajakan bagi siswa untuk melakukan refleksi untuk menemukan makna dan kegunaan materi serta proses belajar yang telah dilakukan. Sebagai contoh, pada akhir bab (#The_Educatorship37, hal 186-190) ditampilkan tulisan hasil refleksi siswa yang menggambarkan betapa ia menikmati pembelajaran.
Secara keseluruhan buku ini bukan saja berguna bagi guru, namun juga bagi orang tua, keluarga dan masyarakat luas sebagai elemen yang harus bersinergi dengan institusi sekolah demi keberhasilan pendidikan anak. Dengan tegas dinyatakan bahwa 'salah besar', jika saat berada di sekolah anak menjadi tanggung jawab sekolah, dan saat di rumah menjadi tanggung jawab keluarga. Sudah saatnya pendampingan anak menjadi tanggung jawab sinergis antara keluarga dan sekolah (hal 191).
#The_Educatorship -- Seni Memanusiakan Wajah Pendidikan ini, bahkan dapat menjadi kritik membangun bagi dunia pendidikan kita yang masih diliputi kegamangan terkait model pendidikan ideal. Anak-anak perlu dibiarkan belajar dalam kelenturan badan, kedinamisan otak, kelembutan hati dan kepedulian sikap; bukan sekadar 'Datang, Duduk, Dengar, Dapat (4D)' dengan segudang materi pelajaran dan dalam situasi kelas yang memasung, sebagaimana fakta dalam pendidikan kita (hal 161). Demikianlah salah satu konsep yang ditawarkan di antara banyak konsep lain yang bersifat positif dan berperan meningkatkan sistem pendidikan di Indonesia. Â
[@dwiklarasari]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H