Mohon tunggu...
Lucas Dwi Hartanto
Lucas Dwi Hartanto Mohon Tunggu... wiraswasta -

Mahasisa Program Magister Sosiologi, Universitas Muhamadiyah malang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Narasi Pemberontakan Mahasiswa-Rakyat, Mei 1998 di Jakarta

26 Mei 2014   09:18 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:06 859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Aku tundukan kepala yang sedalam-dalamnya untuk Para Martir, Kawan-kawan baik yg dikenal maupun yang sama sekali tidak dikenal oleh publik, yang dengan gagah berani tanpa pamrih telah dan pernah menyumbangkan miliknya untuk Orang banyak…”

“- Wiji Thukul – Herman Hendrawan  - Bimo Petrus - Suyat - Moses Gatot Kaca - Yun Hap - Iqbal - Temu, Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, Hendriawan Sie, Munir dan ribuan nama-nama Angkatan muda lainya yg gugur dalam perjuangan….”

- - - - -

KALAU kita melihat apa yang terjadi di Indonesia, khususnya di kota Jakarta pada bulan Mei 1998, tentunya konteks peristiwa ini tidak bisa kita lepaskan begitu saja (seolah berdiri sendiri) dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, yang menjadi seting latar pra-kondisinya. Penting bagi kita untuk melihat kurun waktu sebelumnya, bagaimana dinamika gerakan rakyat dan mahasiswa antara tahun 1996 dan tahun 1997 yang begitu dinamis dan bergolak semangat penentangan-nya terhadap rezim Soeharto kala itu, serta bagaimana konteks narasi-narasi alur sejarah itu berlangsung.

Tentunya hal seperti ini masih sangat jarang dilihat oleh banyak kalangan pembaca di Indonesia, utamanya generasi muda yang mungkin tidak mengalami dan bersentuhan secara langsung dengan peristiwa Mei ’98 itu.

Setelah peristiwa berdarah 27 Juli 1996 (penyerbuan kantor PDI), perlawanan Rakyat dan Mahasiswa terhadap Rezim Soeharto berikut pilar-pilar yang menyangga kekuasaannya semakin berkobar. Situasi Pasca 27 Juli, gerakan rakyat mengalami masa-masa mencekam, dimana terjadi ‘Crack down’ (pemukulan keras) terhadap PRD (Partai Rakyat Demokratik) dan ormas-ormas sektoralnya, seperti SMID (Mahasiswa), STN (Tani), PPBI (Buruh), Jaker (Seniman), dan SRI (Miskin Kota). Selain PRD, organisasi-organisasi pro-demokrasi lainya juga mengalami tekanan dan intimidasi seperti Pijar, KIPP, Aldera, PUDI, SBSI, YLBHI, dan basis-basis PDI Mega, juga turut dibungkam. Represi keras Orba saat itu, berupa penangkapan-penangkapan aktivis pro-demokrasi, pemenjaraan, penculikan, disertai dengan penggerebekan sekretariat-sekretariat gerakan, penggerebekan kampus-kampus, pabrik-pabrik oleh intelijen dan tentara, juga penggerebekan rumah-rumah dan kantor-kantor yang dicurigai sebagai tempat berkumpul dan bersembunyi-nya para aktifis pergerakan kala itu.

Memasuki era tahun 1997, gerakan Rakyat dan Mahasiswa mulai menggeliat kembali secara perlahan-lahan. Berbagai bentuk aktivitas konsolidasi, diskusi-diskusi, dan rapat-rapat tertutup mulai dilakukan oleh para aktivis pergerakan yang tersisa dan berserakan, dalam situasi ketakutan, ancaman dan kocar-kacir pasca pemukulan secara fisik di beberapa kota, termasuk di Jakarta. Sepanjang tahun 1997, bentuk-bentuk perjuangan tertutup (bawah tanah) mulai dilancarkan, seperti ‘Graffiti Action’ di dinding-dinding strategis kota, pembangunan kembali komite-komite aksi, distribusi selebaran ke kampus-kampus, juga ke kantong-kantong pemukiman massa perkotaan, kawasan-kawasan industri, perkampungan buruh, bis-bis, halte, telepon umum, dan fasilitas publik lainnya. Tujuannya agar selebaran-selebaran dan terbitan-terbitan yang diproduksi oleh gerakan bawah tanah mampu dibaca dan menjangkau massa luas. Selebaran-selebaran ini umumnya berisikan informai mengenai isu-isu yang saat itu menjadi keresahan dan pembicaraan orang banyak, seperti naikan upah buruh, tanah untuk petani penggarap, turunkan harga, kebebasan berorganisasi, otonomi kampus, juga isu politik seputar Cabut 5 UU Politik, Cabut Dwifungsi ABRI (Militerisme) dan seruan Gulingkan Soeharto.

Sepanjang bulan Mei 1997, Orde Baru menyelenggarakan Pemilu untuk melegitimasi kembali kekuasaannya, sementara gerakan Rakyat dan Mahasiswa yang bekerja dalam syarat-syarat yang begitu represif mulai bergerak dan merespon dengan lantang Pemilu 1997 dengan selogan: ‘Boikot Pemilu Orba dan Gulingkan Soeharto!!’.

Mega Bintang Rakyat (MBR), sebagai alat ropaganda dan agitasi gerakan bawah tanah kala itu, mengeluarkan selebaran berkali-kali pada masa-masa kampanye pemilu 1997 ini. Berbagai isu dari tema-tema di atas menjadi tema utama dalam setiap isi penjelasan dan seruan selebaran-selebarannya. Ribuan, bahkan ratusan ribu selebaran MBR diproduksi dan didistribusikan secara masif dalam barisan konvoi-konvoi kampanye massa PPP, PDI, massa rakyat perkotaan dan mahasiswa yang tumpah ke jalan-jalan di Jakarta sepanjang masa kampanye tersebut. Seruan dan sentimen anti Soeharto dan orba ini kemudian disambut rakyat Jakarta di jalan-jalan dengan begitu antusias. Perlawanan rakyat mengambil bentuk pertempuran-pertempuran jalanan antara massa rakyat dan tentara yang dibantu polisi. Bentrokan ini terjadi hampir di semua sudut-sudut kota, dimana titik-titik massa tumpah ke jalan.
Situasi umum saat itu hampir seluruh jalanan, hingga gang-gang di sudut-sudut kota Jakarta dan perkampungan dilanda pertempuran jalanan, bahkan meluas sampai ke wilayah Botabek (kota-kota satelit di pinggir Jakarta). Peristiwa MBR 1997, dikemudian hari merupakan ajang latihan bagi mahasiswa dan rakyat Jakarta, dalam menghadapi pertempuran-pertempuran jalanan berikutnya yang lebih besar dan menentukan dalam rangka membuka ruang demokrasi dan kebebasan politik, juga perjalanan sejarah Indonesia kontemporer selanjutnya.

Masa Penentuan

Memasuki awal tahun 1998, situasi krisis ekonomi, politik dan sosial yang melanda rezim orba yang makin uzur itu iberlangsung lebih mendalam. Antrian orang untuk mendapatkan sembako (Sembilan bahan pokok), seperti beras, minyak, bensin dan kebutuhan pokok sehari-hari, terjadi dimana-dimana. Kalangan kelas menengah Jakarta, yang awalnya relatif bersikap netral, mulai resah dan ikut berteriak-teriak menghadapi realitas ini, Sistem kapitalisme-militeristik yang dibangun rezim orba selama 32 tahun, tiba-tiba mengalami stagnasi, krisis dan kebangkrutan secara luas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun