Mohon tunggu...
Lucas Dwi Hartanto
Lucas Dwi Hartanto Mohon Tunggu... wiraswasta -

Mahasisa Program Magister Sosiologi, Universitas Muhamadiyah malang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyoroti Peristiwa Petrus (1983-1984) dan Pemilu, Penjahat Gaya (Orde) Baru: Eksplorasi Politik dan Kriminalitas

14 Agustus 2014   20:19 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:33 2664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


“Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersingggung, kecuali orang gila dan orang yang memang berjiwa kriminil, biarpun dia seorang Sarjana.”

Pramudya Ananta Toer (Anak Semua Bangsa).


--------------------------------------------------------------------------

1.Membaca kembali Buku “Penjahat Gaya (Orde) Baru: Eksplorasi Politik dan Kriminalitas”, Karya James T. Siegel.

Membaca secara keseluruhan sebuah buku karya James T. Siegel yang berjudul :Penjahat Gaya (Orde) Baru: Eksplorasi Politik dan Kriminalitas terasa sangat menarik. Bukan hanya karena kedalamanya dalam mengupas berbagai persoalan yang menjadi tema pembahasan buku ini. Akan tetapi bagaimana cara Siegel memaparkan berbagai persoalan besar dan rumit yang terjadi di Indonesia pada saat itu. Pemaparan dalam buku ini dilakukan dengan cara yang sangat ringan, terperinci dan lebih gamblang menggambarkan, bagaimana pemahaman dan pemikiran yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari. Satu hal yang sangat menarik lainya, bahwa buku ini ditulis pada masa kekuasaan Soeharto yang begitu represif dan melakukan pe-nyensoran secara ketat terhadap produksi wacana-wacana alternatif, yaitu bentuk wacana yang berbeda dan bertentangan dengan wacana mainstream yang diproduksi oleh Negara dan para pendukungnya saat itu.

Sementara latar belakag penulis, James T.Siegel adalah seorang Etnografer asing berkebangsaan Amerika Serikat, pada saat itu ia banyak melakukan penelitian di Jawa dan Sumatera (khususnya di wilayah Aceh), tentang beragam tema bentuk-bentuk kekerasan Negara terhadap kehidupan sehari-hari yang dialami orang kebanyakakan di Indonesia, pasca meletusnya peristiwa 1965. Karena berbagai tema penelitian dan beberapa publikasi tulisannya inilah, akhirnya Siegel diusir dari Indonesia, dan dipersulit masuk ke Indonesia selama masa kekuasaan Soeharto.

Dalam memaparkan beberapa tema besar yang terjadi di Indonesia pada kurun waktu tahun 1980-an ini, Siegel dalam banyak analisis-nya lebih seing menggunakan pendekatan melalui liputan berita dan data-data surat kabar, yang memang sangat populer dibaca dan dibicarakan ditengah-tengah masyarakat Indonesia pada saat itu. Data surat kabar yang dipergunakan oleh Siegel dalam buku ini adalah seperti Koran atau harian Pos Kota, yang diterbitkan di Jakarta. Koran Pos Kota saat itu wilayah distribusi utama-nya menjangkau wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi (wilayah Jabotabek). Koran Pos Kota ini dari segi tiras dan pembaca-nya saat itu termasuk Koran yang sangat besar di Indonesia, para pembaca Pos Kota umumnya berasal dari kalangan menengah ke bawah dan kaum miskin yang tinggal di daerah Perkotaan.

Selain Pos Kota, Siegel banyak menggunakan juga liputan berita dari Majalah mingguan Tempo. Majalah Tempo ini segmentasi pembacanya pada umumnya berasal dari kalangan menengah keatas. Majalah Tempo seperti juga Pos Kota terbit di Jakarat, akan tetapi wilayah distribusi dan jangkauan Majalah ini lebih luas dibandingkan dengan Koran Pos Kota, yaitu mencakup hampir seluruh Kota-kota besar di Indonesia.

Penggunaan rujukan data atas kedua surat kabar ini, yaitu Koran Pos kota dan Majalah Tempo menunjukan ke jelian Siegel sebagai seorang Etnografer dan peneliti sosial, untuk membandingkan bagaimana laporan pemberitaan dari kedua surat kabar dengan segmen yang berbeda tersebut di suguhkan dan dikemas ke tengah-tengah masyarakat. Masyarakat pembaca tersebut tentu saja adalah masyarakat Indonesia yang tinggal di perkotaan, terutama diwilayah Jakarata dan sekitarnya.

Penelitian Siegel lebih menyoroti pada berita-berita seputar kasus kriminal yang terjadi di Indonesia pada saat itu, yaitu pada era tahun 1980-an. Pemberitaan kasus kriminal yang menjadi fokus analisisnya ini berupa berita kasus kriminal yang besar dan menjadi headline pada saat itu di Indonesia. Artinya tidak semua pemberitaan yang menyangkut peristiwa kriminal dia paparkan dalam buku ini.

Dengan melakukan pembanding diantara kedua surat kabar tersebut, Siegel menemukan banyak hal. Seperti bagaimana konstruksi peristiwa dan penggambaran berita yang berbeda dapat dibandingkan, dalam analisisnya pada saat menyoroti setiap kasus yang di beritakan oleh kedua surat kabar tersebut. Siegel juga dapat berusaha menangkap bagaimana pandangan atau opini masyarakat, rumor, gosip, intrik dan perbincangan masyarakat luas, serta sikap masyarakat merespon satu peristiwa besar yang menjadiheadline sebuah surat kabar tersebut. Tentunya dalam hal ini Koran Pos Kota dan Tempo yang menjadi fokus data analisis Siegel. Yang tak kalah menarik, melaui analisis-analisisnya yang tajam, dia mencoba menghubungkan benang merah atau kaitan antar satu peristiwa dengan peristiwa lainya secara historis. Siegel juga berusaha memaparkan dan membongkar dengan sangat detail, apa sesungguhnya yang menjadi motifasi dan tujuan kekuasaan Orde baru dibalik peristiwa kriminal yang dia soroti, tentunya terkadang dengan bahasa yang satir dan kritis, sangat khas dengan narasi yang dipaparkan siegel sepanjang isi buku ini.

* * * * *

2. Menyoroti Peristiwa Penembakan Misterius (Petrus) Tahun 1983 - 1984. “ ’Trauma’ Lagi, Penjahat Baru Lainya ”.


  • Latar belakang “Trauma” dan Penjahat Baru.

Mengapa Terjadi Petrus dan apa latar belakangnya? Bagi saya pertanyaan ini menjadi penting untuk ditelusuri dan dijelaskan terlebih dahulu, sebelum kita langsung masuk menyoroti peristiwa “Petrus” yang terjadi sejak pertengahan tahun 1983 sampai dengan awal tahun 1984. Mengingat alur cerita yang dipaparkan penulis dalam buku ini bagi saya sangat sulit untuk dipahami, jika kita langsung masuk ke inti peristiwa kejadian “Petrus”, tanpa tahu latar belakang persoalan dan apa konteks yang tersembunyi dari rangkaian peristiwa juga beberapa permasalahan yang dibahas dalam buku ini. Menurut saya, mungkin ini kelemahan utama dalam pendekatan Etnografi Siegel, yang tidak memaparkan secara runut, sistematis dan gamblang terlebih dahulu berkaitan dengan konteks politik saat itu, juga minimnya pemaparan narasi dan argumentasi sejarah-politik apa saja yang menjadi latar belakang (baca; memicu) Peristiwa Petrus ini meledak ditengah masyarakat saat itu.

Seperti dapat kita telusuri kebelakang, bahwa Penguasa Orde baru berkuasa setelah jatuhnya Pemerintahan Soekarno yang oleh banyak orang dikatakan berwatak Populisatau kerakyatan, Atau dengan kata lain sebuah Pemerintahan yang berorientasi kepada rakyat. Sementara disisi lain, Kekuasaan Orde baru justru lebih banyak disokong oleh kekuatan Militer Indonesia khususnya Angkatan Darat. Dimana Angkatan Darat pada saat setelah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September (G.30.S) di tahun 1965 ini lebih banyak mengambil tugas dan kewenangan untuk menjaga ketertiban dan stabilitas keamanan negara.

Akan tetapi pada prakteknya Angkatan Darat melalui Jendral Soeharto-lah yang secaradefacto mengendalikan dan mengambil alih Kekuasaan di Indonesia pada saat itu. Situasi krisis ini terus berlangsung hingga Pemerintahan Presiden Soekarno secara perlahan-lahan semakin lemah kekuasaan-nya, baik dalam bentuk dukungan rakyat maupun legitimasi dimata publik atas meletusnya Peristiwa G.30.S tahun 1965. Situsi transisi pemerintahan ini berakhir sampai diangkatnya Jendral Soeharto sebagai Pejabat Presiden, menggantikan Soekarno pada tahun 1967 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Lembaga MPRS sendiri pada saat itu memang telah banyak diisi oleh para pendukung dan simpatisan Soeharto. Sementara disisi lain, para pendukung dan loyalis Soekarno di Parlemen sudah banyak yang ditangkap, dibunuh, diberhentikan atau dipaksa berhenti oleh Angkatan Darat.

Tahun 1965 sampai tahun 1967 bukan hanya sebuah masa transisi pemerintahan lama berganti kemasa pemerintahan baru. Pada masa tersebut juga sering dikatakan sebagai masa yang sangat kelam dan mencekam bagi sejarah bangsa Indonesia kontemporer. Bagaimana ratusan ribu hingga Jutaan nyawa manusia, dari anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) diseluruh Indonesia ditangkap dan dibunuh secara masal tanpa proses pengadilan. Menarik jika kita menggambarkan situasi transisi pada saat itu, mengutip pernyataan Letnan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo (Bapak dari Ani Yudhoyono, Istri SBY-red) sebagai Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), dalam sebuah konferensi pers di Jakarat awal tahun 1966 :


“Di Jawa kami (RPKAD, red) harus menghasut penduduk untuk membantai orang-orang Komunis. Di Bali kami harus menahan mereka, untuk memastikan bahwa mereka tidak bertindak terlalu jauh. (1)

Akan tetapi pada kenyataan-nya, penangkapan dan pembunuhan bukan hanya menimpa anggota PKI, keluarga PKI dan para simpatisanya. Penangkapan dan pembantaian masal ini juga dialami oleh banyak simpatisan serta para pendukung Presiden Soekarno sendiri. Bahkan, banyak diantara para korban pembantaian manusia yang dilakukan oleh kalangan Militer dan Sipil ini menimpa orang yang tidak tahu-menahu dengan apa persoalan sebenarnya. Pembunuhan besar-besaran nyawa manusia ini selain bersifat masal dan sadis, terkadang polanya dilakukan secara random atau acak. Artinya siapapun yang dicurigai, walaupun dia sama sekali tidak ada kaitanya dengan PKI, bisa juga dibunuh dan keluarganya dihabisi. Pembantaian manusia paling besar dan berdarah dalam sejarah Indonesia moderen ini terjadi diseluruh Jawa, Bali dan kemudian meluas terjadi diluar pulau Jawa bahkan hampir diseluruh Indonesia.

Sedikit menggambarkan bagaimana situasi masa itu, kita bisa mengutip pernyataan Bung Karno dalam pidatonya dihadapan massa mahasiswa, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tanggal 18 Desember, di Bogor. Bung Karno meminta agar HMI “turba” – (turun kebawah) untuk mencegah pembunuhan massal di Jawa Tengah dan Jawa Timur.


"Pembantaian sangat keji. Orang disembelih, dipotong dan dibunuh begitu saja. Bahkan orang tidak berani menguburkan jenasah korban karena diancam. Kemudian lebih jauh Bung Karno menggambarkan, “awas kalau berani ngerumat (merawat,red) jenazah. Engkau akan dibunuh. Jenasah di klelerkan begitu saja, dibawah pohon, dipinggir sungai. Dilempari bagai bangkai anjing yang sudah mati".(2)

Setelah Kekuatan yang di Pimpin Jendral Soeharto mengambil alih kendali kekuasaan secara penuh. Dalam upaya mengidentifikasi Subjek Kekuasaan barunya yang berbeda dengan Pemerintahan sebelumnya (era Soekarno). Jenderal Soeharto dan para pendukungnya menyebut dirinya sebagai “Pemerintahan” Orde baru, yaitu sebuah Orde atau jaman yang sangat berbeda dengan masa sebelumnya pada masa Pemerintahan Soekarno. Pemerintahan Soekarno sebelum Orde baru kemudian diberi nama "Orde lama". Walaupun sebetulnya sepanjang masa Pemerintahan Soekrno, istilah Orde lama sama sekali tidak pernah dipergunakan untuk menyebut Pemerintahan Soekarno.

Menjelang berakhirnya Pemerintahan Presiden Soekarno, Bung Karno sendiri lebih sering menyebut Pemerimtahan-nya adalah sebuah Pemerintahan Rakyat yang Progresif dan Revolusioner, seperti dapat kita lihat dalam isi pidato Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1964, Pidato yang dinamai “Tahun Vivere Pericoloso-TAVIP”.(3)

  • * * * *
  • Petrus, Tindakan Penguasa Orde baru yang mencolok.

Pemerintahan Orde Baru dalam menopang kekuasaan-nya selain mengandalkan dukungan penuh dari kekuatan Militer, pada akhirnya juga mulai menghimpun kekuatan masyarakat sipil untuk mendukung kekuasaan-nya. Berbagai lapisan masyarakat sipil tersebut dihimpun untuk memperkuat kekuasaan-nya. Para pendukung kekuatan sipil Orde baru diantaranya adalah kalangan elite Intelektual dan akademisi, yang dikemudian hari sering disebut sebagai kaum Tekhnokarat. Selain itu kekuatan sipil juga digalangan melalui jajaran Birokrasi pemerintahan, juga kalangan Pelajar dan  Mahasiswa, kaum Agamawan, serta kalangan sipil lain-nya. Semua elemen masyarakat sipil ini mulai di himpun secara sistimatis untuk memperkuat pemerintahan Orde baru dalam menjalankan kekuasaan-nya.

Berbagai unsur masyarakat sipil yang menjadi Pendukung Orde baru ini, kemudian tergabung dalam Golongan Karya (Golkar). Golkar merupakan Partai Penguasa yang dibentuk oleh Kekuasaan Orde baru sebagai mesin politik dalam menghadapi Pemilhan umum (Pemilu) setiap lima tahun sekali. Kekuasaan Orde baru ini dalam meneguhkan kekuasannya di Indonesia sering dikatakan bersandar pada kekuatan Tiga pilar utama, yaitu ABRI, Birokrasi dan Golkar (ABG).

Menjelang tahun 1982 pada saat akan menghadapi Pemilihan umum yang ketiga kalinya (Pemilu pertama pada tahun 1971 dan Pemilu kedua tahun 1977). Kekuasaan Orde baru berusaha untuk semakin memperluas dukungan suara bagi Golkar dikalangan masyarakat sipil, salah satu elemen masyarakat yang secara intensif dilibatkan adalah para “Gali”atau akronim dengan “Gabungan Anak Liar”. Sebagian besar para Gali ini adalah penjahat kelas teri, para anggota geng atau yang saat ini dikenal dengan istilah Preman.(4) Mereka yang disebut gali ini sangat umum terdapat disetiap Kota-kota besar maupun Kota-kota kecil diseluruh Indonesia, bahkan banyak juga para gali yang melakukan operasinya didaerah pedesaan. Walaupun ada banyak istilah ataupun nama yang berbeda-beda, tetapi pekerjaanya sebagai penjahat kelas teri dan pelaku tindakan kriminal ditengah masyarakat adalah makna atau istilah yang dipergunakan untuk mengidentifikasi apa yang disebut dengan para Gali ini.

Para gali ini kemudian dipekerjakan oleh pemerintah Orde baru untuk membantu secara aktif dalam memobilisasi suara bagi pemenangan Golkar pada Pemilu 1982. Sedikit catatan bahwa Golkar pada saat itu tidak mau menyebut dirinya sebagai Partai Politik, walapun pada realitasnya Golkar adalah Partai Politik peserta Pemilu pendukung utama pemerintahan Orde baru.

Para gali dari berbagai kota di Indonesia ini direkrut dan dipekerjakan oleh Pemerintahan Orde baru untuk ikut mendulang suara Golkar ditengah-tengah masyarakat (mesin Politik Elektoral), sekaligus juga dikontrol oleh Kekuasaan agar selama menjelang dan berlangsungnya Pemilu tidak melakukan tindakan-tindakan kriminal yang berlebihan dan meresahkan masyarakat, yang dapat menggagunggu ketertiban dan stabilitas keamanan Negara. Dengan harapan agar Pemilu tahun 1982 ini dapat berlangsung dengan aman dan terkendali di bawak kontrol Kekuasaan Orde baru. Pada masa itu ada semacam “Kemesraan” hubungan para Gali dengan para pendukung Kekuasaan Orde baru seperti jajaran Birokrasi, Golkar dan terutama pihak Militer sebagai pemegang otoritas keamanan utama diseluruh Indonesia selain Polisi. (Pola ini ada kemiripan dengan seting Film JAGAL, karya Joshua Oppenheimer).

Paska Pemilu 1982 tepatnya pada pertengahan tahun 1983, Kekuasaan Orde Baru mengalami sebuah perubahan drastis, Dalam istilah James T. Siegel, Tindakan Penguasa Orde baru ini dikatakan sebuah tindakan yang mencolok terhadap kehidupan rakyat Indonesia, terutama rakyat Indonesia dilapisan kelas bawah(5).  Lalu tindakan mencolok semacam apa yang telah dilakukan Penguasa Orde baru ini?

Kurang lebih satu tahun sebelumnya yaitu pada tahun 1982, Pemerintah Orba baru saja menggelar “Pesta Demokrasi”, sebuah ungkapan yang sangat lazim di jaman itu. Dimana Partai Penguasa yaitu Golkar dalam Pemilu ini berhasil memperoleh kemenangan mutlak, terbilang cukup besar di Parlemen yaitu sekitar 62,11%. Sementara partai-partai pesaingnya seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hanya memperoleh angka sekitar 29,29%. Dan terakhir Partai Demokrasi Indonesia (PDI) hanya memperoleh angka paling kecil yaitu sekitar 8,60% (6).  Dengan kemenangan Golkar yang cukup mutlak untuk menjalankan kekuasaan ini, kenapa tiba-tiba satu tahun kemudian terjadi satu peristiwa yang mencolok ?

Jika kita kemudian membaca kembali sebuah headline surat kabar yang terbit di Jakarta pada saat itu, yaitu Koran Pos Kota yang menurunkan beritanya pada tanggal 3 Januari 1984, mungkin hal ini bisa menjadi petunjuk awal bagi kita untuk mengidentifikasi, sebetulnya tindakan mencolok semacam apa yang di lakukan Penguasa Orde baru saat itu. Headline Koran Pos Kota pada hari itu menjelaskan :


“Dengan Tangan Menutup Muka di Got Tertutup Batu, Seorang Lelaki Bertato dengan Gambar Wanita Telanjang Ditemukan Tewas di Bacok Seratus Kali.”

Dengan gaya pemberitaan-nya yang khas, Koran Pos Kota hari itu menurunkan sebuah laporan headline besar pada halaman mukanya secara dramatis dan terkesan mengerikan, bagi para pembacanya. Akan tetapi memang seperti itulah karakter surat kabar Pos Kota yang lebih berfokus kepada berita-berita kriminal di Indonesia dalam menurunkan berita utamanya. Walaupun berita ini sebetulnya adalah cerita utama Koran itu, tetapi isi beritanya justru sangat singkat, biasanya laporan utama Pos Kota menurunkan sebuah cerita disajikan secara panjang lebar. Tapi kali ini tidak seperti biasanya, isi laporan singkat tersebut adalah :


“Seorang Pria dengan Tato wanita telanjang, Abdul Kadir alias Oding (21) ditemukan tewas dengan seratus luka bacok, dalam sebuah got dimuka rumahnya RT 0012 / 07, Kp. Duku, Kelularahan Kebayoran Lama, Senin pagi.” (7)

Jika kita ingin memeriksa sedikit peristiwa ini dalam isi surat kabar tersebut, yang begitu mencolok bagi kita adalah, pertama pada sosok korban adalah seorang laki-laki yang bertato dengan gambar wanita telanjang. Kedua pembacokan yang dilakukan dengan jumlah yang terbilang sangat banyak yaitu seratus kali. Ketiga mayat tersebut ditemukan didalam got didepan ruamahnya sendiri.

Laporan yang ditulis Koran Pos Kota pada bulan Januari 1984 ini, sebetulnya bukanlah sesuatu yang baru dan mengejutkan bagi pembaca surat kabar di Indonesia pada saat itu. Karena serangkaian penembakan dan pembunuhan sadis yang di campakan di jalan-jalan dan tempat umum ini, sebetulnya sebelumnya sudah mewarnai hampir semua surat kabar di Indonesia sejak pertengahan tahun 1983. Pada saat itu orang sudah banyak menemukan mayat-mayat lelaki bertato di sebagian besar tempat di Indonesia, dan penemuan-penemuan mayat itu selalu memiliki sebuah inisial khas, yaitu gambar tato di tubuhnya. Penemuan mayat lelaki bertato ini selalu di kabarkan kepada publik pembaca di Indonesia hampir setiap hari. Berita ini bagaikan sebuah teror ketakutan sosial yang diproduksi Kekuasaan Orde baru melalui ruang media massa, yang disajian secara terus-menerus kehadapan para publik pembaca. Pembunuhan sadis para lelaki bertato inilah yang kemudian disebut dengan istilah “Petrus” atau akronim dengan “penembakan misterius”.

Penyebutan istilah Petrus ini sebetulnya juga kurang tepat, karena tidak semua korban laki-laki bertato ini mati secara mengenaskan dengan luka tembak atau mati karena penembakan. Ada juga diantara mereka para gali ini yang mati dengan luka bacokan atau tikaman senjata tajam. Kemudian ada juga para korban Petrus ini yang mati dengan leher diikat atau di jerat tali dan dimasukan didalam karung. Walaupun memang banyak korban laki-laki bertato ini yang menemui ajalnya dengan luka tembak disekujur tubuhnya atau ditembak kepalanya berkali-kali. Misalnya Koran Tempo pada edisi Agustus 1983, menurunkan beritanya :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun