Mohon tunggu...
Dwi Isnaini
Dwi Isnaini Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mompreneur yang menyukai dunia tulis menulis

Owner CV Rizki Barokah perusahaan dalam bidang makanan ringan. Penulis buku "Karakter Ayah Pebisnis untuk Sang Anak Gadis"

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Keutamaan Bulan Muharram

17 Agustus 2021   08:23 Diperbarui: 17 Agustus 2021   09:56 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: bangkitmedia.com

Bulan Muharram atau orang Jawa menyebutnya dengan bulan Suro merupakan bulan yang mistis bagi sebagian orang Jawa. Saya sebagai seorang pedagang sering mendengar keluhan dari sesama pedagang. Karena biasanya pada bulan Suro ini jualan cenderung sepi, mereka menjadikan bulan Suro sebagai kambing hitamnya.

Selain itu, jika orang mau ngunduh mantu, menurut orang tua jaman dulu tidak diperkenankan pada bulan Suro. Orang yang mau bepergian jauh pun juga sering menangguhkannya karena alasan bulan Suro tersebut.

Dalam tradisi Jawa, terdapat beberapa ritual pada malam 1 Suro. Di Kraton Surakarta ada tradisi menjamas (memandikan) benda-benda pusaka. Sedangkan di Kraton Yogyakarta ada tradisi mubeng (mengelilingi) beteng. Saya cukup paham dengan kedua tradisi tersebut karena saya pernah tinggal di dekat Kraton Solo dan Kraton Yogyakarta.

Yang pertama kali memprakarsai tradisi mubeng beteng ini adalah Sultan Agung, Raja pertama Kerajaan Mataram Islam. Pada zaman dulu, yang melakukan ritual mubeng beteng hanya para prajurit kraton dalam rangka mengamankan lingkungan kraton.

Dalam ritual mubeng beteng tersebut, para prajurit juga melakukan Tapa Bisu (tidak berbicara). Hal itu karena sewaktu mubeng beteng mereka juga khusuk berdoa memohon kedamaian dan keselamatan.

Tujuan dari mubeng beteng selain untuk penjagaan juga untuk ngiwakke atau membuang hal-hal buruk. Disebut ngiwakke karena mereka memutari beteng dimulai dari sisi kiri atau barat Keraton. Tradisi yang awalnya dilakukan oleh prajurit kraton ini sekarang juga dilakukan oleh masyarakat umum. Tetapi selama masa pandemi kegiatan ini tidak diadakan.

Sejak zaman Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusumo (1613-1645), Kraton Yogyakarta menggunakan penanggalan hijriyah. Penanggalan Hijriyah tersebut diawali pada bulan Muharram. Kemudian Sultan Agung menamai bulan Muharram dengan bulan Suro.

Pada waktu itu ada dua penanggalan yang dipakai oleh masyarakat Yogyakarta, yaitu kalender hijriyah dan kalender Saka. Kalender Hijriyah banyak dipakai oleh masyarakat yang pengaruh Islamnya kuat yaitu masyarakat pesisir. Sedangkan kalender Saka banyak digunakan oleh masyarakat di pedalaman yang masih terpengaruh oleh ajaran Hindu.

Sultan Agung ingin mempersatukan masyarakat Yogyakarta yang pada waktu itu terpecah antara kaum Putihan (Islam) dan kaum Abangan (Kejawen). Beliau berinisiatif untuk mengubah penggunaan kalender Saka dengan kalender Hijriyah, tetapi dengan mengganti nama bulannya menggunakan istilah-istilah jawa.

Dalam agama Islam, bulan Muharram adalah bulan yang dimuliakan. Salah satu tanda kemuliaannya adalah dengan disebutnya bulan Muharram sebagai bulan Allah (Syahrullah). Pada bulan Muharram ini umat Islam dilarang berperang. Yang maknanya adalah pengendalian diri dari hawa nafsu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun