Mohon tunggu...
Dwi Haryadi
Dwi Haryadi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Surat Terbuka untuk Rizal Ramli

9 September 2018   13:08 Diperbarui: 9 September 2018   13:35 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Dari: Alvin Ranggalawe

Selamat akhir pekan Bung Rizal

Semula omongan Anda saya masih anggap biasa saja. Selalu cuap-cuap negatif terhadap kebijakan negara.

Namun, belakangan ini kalimat-kalimat kritik Anda semakin kurang ajar. Semakin tak layak diucapkan oleh orang yang terpelajar.  Bahkan, orang yang tidak menempuh pendidikan tinggi seperti Anda saja tidak sekotor itu mulutnya, jorok. Apalagi mirisnya Anda berpredikat ekonom.

Pernyataan-pernyataan negatif Anda, khususnya di persoalan neraca perdagangan, dan memandang kebijakan negara, membuat saya sangsi. Apakah benar Anda pernah belajar ekonomi. Tudingan-tudingan Anda terhadap kebijakan negara sangat dangkal. Dan bahkan terkesan tolol sekali.

Pantas saja kalau Anda dua kali diberhentikan jadi Menteri.

Saya bukan ekonom. Pendidikan saya hanya sarjana. Itu pun saya dapat dengan susah payah, karena saya akui, tak begitu cerdas. Alhamdullilah saya bisa lulus sebagai  pengawai di kementerian perdagangan dengan pangkat  rendah.

Tetapi jelas saya merasa sangat terganggu dan tersinggung dengan berbagai tuduhan Anda terhadap yang dilakukan kami semua di kementerian ini, terutama soal impor. Tudingan- tudingan bukan saja dangkal. Pernyataan-pernyataan seolah-olah kritik terhadap pemerintahan yang pernah Anda menjadi bagiannya, tak bisa diterima nalar. Buat saya, ini lebih berkesan hasutan dan bernada ujaran kebencian.

Anda pastinya tak perlu diajari soal impor. Kan Anda tahu sendiri, bahwa  1. Import itu harus dilakukan manakala pasokan dalam negeri tidak cukup!

Dan sejak zaman dulu negara kita selalu import beras. Juga saat Anda menjabat menteri. Tahun 2013-2014 saja kita import 2,5 jt ton, tahun 2015-2016 kita import 1,5 jt ton. Dan sejak Nopember 2017, terus sampai Maret,  stok beras dalam negeri berkurang .

2. Kalau Anda benar pernah sekolah ekonomi tentu  tahu datanya. Kalau Anda  punya mata dan telinga, tentu bisa lihat kenyataan tersebut.

3. Kalau kurang apa  harus dilakukan? Apa Anda berdiam diri kala warga bingung harga naik karena stok beras gak ada? Pastinya Anda tahu juga bahwa Rakor menko perekonomian yang dihadiri mentan, mendag, dirut bulog kemudian menetapkan impor beras dan menugaskan bulog melakukannya melalui tender terbuka.  Proses ini juga tercantum di situs bulog. Ah, tapi mungkin memang Anda sengaja tendensius dan menafikan fakta itu.

Saya yakin, kalau  Anda  tidak terlalu bodoh untuk mengeceknya di situs itu. Kalau Anda benar bekerja di kantor menko perekonomian, seharusnya juga Anda tahu bahwa di situs pemerintahan Vietnam dan Thailand sebagai pihak asal beras, juga tercantum keterangan sama.  

Seharusnya semua itu Anda tahu mekanismenya, kecuali memang kalau Anda jadi menteri suka memutuskan seenak udel sendiri. Bukan mendag yang lakukan import dan bukan keputusan mendag sendiri untuk mengimpor. Sampai disini Anda ngerti nggak? Apa memang gak tahu sampai Anda dipecat sebagai menteri?

Apa sudah sedemikian bencinya Anda terhadap pemerintahan ini karena Anda tak lagi jadi menteri, sampai semuanya Anda lupa?  Ah, tapi memang Anda kerap lupa diri ya, sampai segitu ngototnya mencapreskan diri sendiri padahal gak ada yang mengingini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun