Ingat program imersi di sekolah-sekolah internasional di pelosok Indonesia beberapa tahun lalu? Diharapkan bahwa dengan diimersikan, murid akan dengan cepat menguasai bahasa Inggris seperti native.
Salah satu ‘tujuan jembatan’ dari pendirian sekolah-sekolah internasional tersebut adalah menghasilkan lulusan yang bisa berbahasa Inggris seperti native. Penguasaan bahasa Inggris seperti native diharapkan bisa menjadi salah modal utama mereka untuk ‘menginternasionalkan’ diri.
Namun, tujuan hebat tersebut tidak tercapai. Komunikasi antara murid dan guru didominasi penggunaan bahasa Indonesia. Bahasa Inggris hanya digunakan pada bagian-bagian pelajaran yang tidak membutuhkan komunikasi kompleks. Mengapa hal ini bisa terjadi? Salah satu penyebabnya adalah banyak guru yang bahasa Inggrisnya masih buruk, walau telah dipersiapkan dengan kursus-kursus bahasa Inggris yang umumnya diselenggarakan oleh kampus-kampus terkemuka. Bagaimana murid bisa berbahasa Inggris dengan baik kalau bahasa Inggris gurunya masih menyedihkan?
Dan masih ada banyak lagi penyebab lainnya.
Sekarang sekolah-sekolah internasional sudah tiada. Tapi ada satu pertanyaan menarik yang muncul dari pengalaman bangsa merekayasa pendidikan tersebut, yaitu ‘bagaimana membuat pemBelajar bahasa Inggris bisa berbahasa Inggris seperti native?’
Tahun 2008 kami sekeluarga boyongan ke Canberra, Australia, karena saya memulai studi lanjut. Kami masuk ke lingkungan yang serba baru: iklim, budaya, dan bahasa yang berbeda. Baru satu minggu di Canberra, anak kami Eka (yang waktu itu berumur 7 tahun), memulai Intensive English Course (IEC) - program pelatihan bahasa Inggris bagi anak-anak usia sekolah yang baru datang di Australia dan belum bisa berbahasa Inggris.
Program ini diadakan di North Aisnlie Primary School, sebuah sekolah dasar yang lokasinya tidak jauh dari apartemen kami. Sesuai dengan usianya, Eka ditempatkan di kelas 2. Teman-temannya berasal dari Cina, Jepang, Korea Selatan, Belanda, Jerman, Brazil, dan lain-lain. Materi dalam program khusus ini sama dengan yang diajarkan di program mainstream, program umum bagi murid asli Australia dan murid dari luar Australia yang sudah bisa berbahasa Inggris, namun kedalaman dan cakupannya dibatasi karena separoh waktu program IEC dialokasikan bagi pemBelajaran bahasa Inggris.
Komunikasi dalam kelas IEC berlangsung total dalam bahasa Inggris. Dengan kata lain, pembelajaran bahasa Inggris di kelas dilakukan dengan ‘metode langsung,’ di mana murid diajak membahas materi pelajaran non-bahasa Inggris - seperti matematika, seni, dan olahraga - seolah-olah mereka sudah bisa berbahasa Inggris. Metode langsung ini dipadu dengan metode bacaan berjenjang, di mana murid diberi tugas membaca di rumah teks-teks menarik dengan tingkat kesulitan berjenjang. Di sini terlihat peran orang tua. Mereka membantu murid menerjemahkan teks-teks tersebut ke dalam bahasa ibu mereka. Bisa kita lihat di sini sinergi antara orang tua dan sekolah dalam membantu murid menguasai bahasa Inggris dalam tahap awal.
Murid satu dengan lainnya saling berkomunikasi total dalam bahasa Inggris dalam melakukan pembelajaran dan bermain di sekolah. Di luar jam sekolah, mereka terus menggunakan bahasa Inggris dalam berbagai kegiatan, terutama bermain. Jadi, praktis mulai jam 8.30 pagi (sejak naik bus), sampai pulang sekolah jam 3 sore, sampai sekitar jam 5 sore (jam terakhir bermain), Eka tenggelam dalam penggunaan bahasa Inggris.
Dalam tiga bulan di IEC, Eka sudah bisa menggunakan bahasa Inggris dengan cukup baik, sudah bisa memahami pertanyaan dan pernyataan-pernyataan gurunya, dan bahkan sudah bisa memahami lelucon teman-temannya. Tingkat penguasaan bahasa Inggris semacam itu seandainya pemBelajarannya dilakukan di Indonesia bisa dicapai baru setelah satu sampai dua tahun oleh anak seusia Eka.
Setelah dianggap menguasai bahasa Inggris cukup baik, Eka dipindah ke kelas mainstream, di mana dia belajar pelajaran-pelajaran umum (termasuk bahasa Inggris tentunya) dengan bahasa Inggris yang apa adanya (yang tidak direkayasa menjadi ‘lebih mudah’ sebagaimana dilakukan di kelas IEC). Dalam tiga bulan di kelas mainstream, bahasa Inggris Eka menjadi native, sebagaimana disampaikan gurunya, “ Eka is also a native speaker of English now besides a native speaker of Indonesian, so now he is bilingual.”