Mohon tunggu...
Dwi Aprilytanti Handayani
Dwi Aprilytanti Handayani Mohon Tunggu... Administrasi - Kompasianer Jawa Timur

Alumni Danone Digital Academy 2021. Ibu rumah tangga anak 2, penulis konten freelance, blogger, merintis usaha kecil-kecilan, hobi menulis dan membaca Bisa dihubungi untuk kerjasama di bidang kepenulisan di dwi.aprily@yahoo.co.id atau dwi.aprily@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature

SPO, Solusi Bagi Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia

4 April 2013   17:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:44 1627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1 Juta Hektare Hutan di Jambi Lenyap 10 Tahun

Masih segar dalam ingatan kala Sinarmas bersitegang dengan Greenpeace di tahun 2010. Greenpeace mengungkap fakta bahwa Sinarmas telah mengakuisisi, menghancurkan hutan alam yang menjadi habitat harimau, serta membabat lahan gambut kaya karbon dan melakukan pembakaran hutan untuk memperluas perkebunan kelapa sawitnya, seperti ditulisFinancial Times, 5 Juli 2010. Fakta yang dibeber luas di dunia internasional ini menyebabkan beberapa konsumen Sinarmas menghentikan kontrak pembelian dan sempat membuat perusahaan tersebut menurunkan kemampuan produksinya. Hal ini sangat mempengaruhi laju perusahaan Sinar Mas sebagai produsen Crude Palm Oil (CPO) terkemuka di dunia. Sebagaimana kita ketahui perkebunan kelapa sawit dituding sebagai penyumbang terbesar deforestasi seperti tertulis dalam artikel http://hutanindonesia.com , bahwa luas kawasan hutan di Jambi yang semula mencapai dua juta hektare lebih , berkurang satu juta hektare akibat alih fungsi hutan secara besar besaran dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Ironisnya, alih fungsi hutan itu lebih diakibatkan konsesi perusahaan skala besar seperti pertambangan, HTI dan perkebunan sawit maupun karet. Kasus ini mengingatkan pada peristiwa di tahun 2008 ketika masyarakat adat Papua meminta pemerintah menghentikan sementara izin pemanfaatan hutan di Papua yang saat itu menghadapi ancaman serius dari perkebunan skala besar HTI, kelapa sawit dan komoditi bio-fuel, kegiatan penebangan oleh HPH dan illegal logging serta akibat diberikannya izin untuk membabat hutan sejauh 1 km di sisi kanan kiri jalan trans Papua sepanjang 1.650 km.Forum Kerjasama (Foker) LSM Papua menyatakan perusahaan HPH/HTI maupun industri sawit di Papua tidak memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat adat. Padahal dalam areal HPH/HTI dan perkebunan sawit masih ada hak masyarakat adat.

Di sisi lain tak dapat dipungkiri bahwa CPO sebagai hasil olahan dari kelapa sawit merupakan komoditi yang memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, tak hanya diolah sebagai minyak goreng, CPO juga mampu berfungsi sebagai bahan bakar yang sangat ramah lingkungan, limbah padat dan cairnya dapat digunakan sebagai sumber energi listrik serta diolah menjadi pupuk organik. Sementara itu pengusaha perkebunan kelapa sawit melaluiGabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPP) Kalteng sempat mengemukakan keberatan jika para pemilik perkebunan kelapa sawit dituduh sebagai penyebab kerusakan hutan Indonesia, menurut data yang mereka ajukan luas area kelapa sawit di Indonesia hanya 8 juta ha dari 99,6 juta ha luas hutan di Indonesia (data : Buku Statistik Kehutanan Indonesia Kemenhut 2011 dipublikasikan pada bulan Juli 2012), tidak adil jika perkebunan kelapa sawit disebut sebagai pemicu deforestasi terbesar selama ini. Selain itu ditinjau dari produktifitas kelapa sawit tergolong paling hemat penggunaan lahannya, prosentase produktifitasnya mencapai 8-9 kali lebih besar dibandingkan dengan minyak nabati lain dengan luas lahan yang sama. Kelapa sawit juga memiliki potensi sebagai tanaman reboisasi dan memiliki nilai konservasi. Kemudian dalam beberapa penelitian terbukti dalam setiap hektarnya kebun kelapa sawit mampu menyerap 36 Ton Karbondioksida, nilai yang lebih besar dibandingkan hutan tropis yang hanya mampu menyerap rata-rata 25 Ton saja setiap hektarnya.

Di sinilah dilematika perkebunan kelapa sawit muncul, menutup perkebunan kelapa sawit sangat tidak mungkin mengingat fungsi kebun kelapa sawit itu sendiri sebagai tanaman hutan dan reboisasi, penyerapan tenaga kerja yang mencapai sekitar 5 juta orang secara langsung dan produk olahannya yang memegang peranan penting dalam hidup manusia. Yang dibutuhkan adalah jalan tengah agar tidak terjadi kerusakan hutan namun kebutuhan manusia juga terpenuhi. Negara kita sebenarnya telah memiliki landasan hukum tentang pengolahan hutan, yaitu :

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 62 Tahun 2011 mengatur tentang Pedoman Pembangunan Hutan Tanaman Berbagai Jenis pada Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK/HTI) yang salah satu poinnya mencantumkan Kelapa sawit adalah tanaman hutan dan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26 Tahun 2007, yang mengatur perusahaan perkebunan wajib membangun kebun untuk masyarakat seluas kurang lebih 20 persen dari total luas areal kebun. Solusi dari dilematika perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah penerapan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, dengan perkebunan sawit yang berkesinambungan (Sustainable Palm Oil) tanpa membuka lahan baru dan merusak hutan kebutuhan manusia akan kelapa sawit tercukupi, paru-paru dunia pun tetap terlindungi. Standarisasi internasional untuk produk Sustainable Palm Oil pun telah ditetapkan melalui Sertifikasi RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dimana sertifikasi ini berperan untuk menjembatani  negara produsen dengan negara konsumen terkait pemenuhan isu lingkungan. RSPO adalah suatu asosiasi, didirikan 8 April 2004, di bawah Article 60 Swiss Civil Code, merupakan sebuah aturan dengan standard internasional dalam pengelolaan perkebunan sawit secara berkesinambungan dan berkelanjutan.  RSPO bertujuan untuk mempromosikan produksi dan penggunaan minyak sawit berkelanjutan melalui kerjasama di sepanjang rantai pasokan serta mengalokasikan dialog terbuka dengan para pemangku kepentingan. Menerapkan SPO adalah kewajiban bagi pelaku perkebunan kelapa sawit demi kepentingan kelangsungan bisnis mereka sendiri karena sebagian importir seperti negara-negara Eropa Barat mulai memberlakukan standarisasi RSPO dalam penerimaan produk olahan kelapa sawit, tak jarang para importir menolak membeli produk yang tidak menerapkan SPO dalam proses produksinya. Jika payung hukum sudah tersedia, sosialisasinya juga lantang menggema maka hasil akhir dari pelaksanaan kebun sawit berkelanjutan tergantung pada itikad baik para pemilik lahan, peran dan kepedulian pemerintah terhadap perkebunan kelapa sawit, misalnya dengan mengurangi pajak bagi perusahaan yang telah menerapkan SPO atau pemberian insentif bagi perusahaan yang belum mampu menjalankan SPO serta pengawasan dari masyarakat luas pada umumnya. Daftar Pustaka : 1. www.hutanindonesia.com 2. www.tempo.co 3. bisnis.news.viva.co.id 4. www.bumn.go.id 5. http://www.sucofindo.co.id (Foto : 1 Juta hektare hutan di Jambi lenyap dalam 10 tahun, arsip http://hutanindonesia.com)


Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun