Ramadan telah berancang-ancang untuk berlalu. Sedih. Siapa muslim yang tak sedih berpisah dengan bulan Ramadan. Bulan yang seluruh amal ibadah pahala dilipatgandakan, bulan yang penuh ampunan, bulan penuh kedamaian. Pagi ini saya merenung, sudah sejauh apa menjalani kehidupan, memenuhi Ramadan. Apa hasil dari berpuasa lebih dari setengah bulan? Apakah sudah berhasil menjadi hamba Allah seperti yang Dia inginkan dan perintahkan?Â
Jika hisab atas diri hanya berdasarkan hitungan, OK lah puasa tidak bolong sama sekali selama 16 hari. Jika dilihat dari rajinnya ke masjid, baikkkk sholat tarawih juga masih konsisten berjamaah di masjid, hitungan lembaran tadarrus Alhamdulillah sudah khatam 30 juz dalam 14 hari dan hari ini sudah memasuki juz ketiga untuk mengejar target khatam Al Qur'an kedua kali selama Ramadan. Tetapi esensi dari ibadah bukan hanya jumlah rokaat sholat sunnah, bukan nominal rupiah dalam infaq sedekah, bukan berapa lembar Al Qur'an yang telah dikhatamkan. Hasil dari sempurna dan bagusnya ibadah adalah perubahan pada diri menjadi lebih baik, baik sebagai individu, makhluk sosial maupun makhluk Allah. Itu sebabnya di sela rutinitas hidup saya menyempatkan meluangkan waktu untuk membaca buku sebagai salah satu upaya membuka wawasan dan mengasah nurani.
Buku adalah teman duduk paling setia. Dia banyak bercerita tanpa pernah menggurui. Jika merasa ditegur oleh kalimat-kalimat dalam buku pembacanya tak akan sakit hati. Apalagi jika yang dibaca adalah buku La Tahzan, Jangan Bersedih! karya Dr. Aidh al-Qarni.
"Duh, judul buku yang diawali dengan kata Jangan itu mesti isinya materi ceramah, nasehat yang membosankan"Â mungkin hal pertama yang terekam dalam benak kita adalah anggapan demikian. Anggapan ini tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. La Tahzan memang benar berisi nasehat, buku bergenre motivasi dan pengembangan diri ini memang berisi nasehat agar pembacanya tidak mudah putus asa, tidak larut dalam kesedihan, tidak kehilangan gairah hidup, tidak lelah untuk berjuang namun gaya tulisan yang renyah, memadukan ayat-ayat Al Qur'an, hadits dengan bait-bait para penyair Arab zaman dahulu sebagai pelengkap renungan sang penulis menyebabkan buku ini tidak membosankan meski dibaca berulang kali. Istimewanya lagi La Tahzan tidak harus dibaca habis dalam sekali duduk. Buku setebal 567 halaman ini bisa dibaca sedikit demi sedikit, seperti nonton episode drama bercerita slice of life. Ringan tapi menyisakan renungan usai membacanya.Â
La Tahzan layak dibaca kapan saja, terutama di bulan Ramadan seperti sekarang. Jika selama Ramadan biasanya kita punya target membaca Al Qur'an sekian halaman, La Tahzan seolah berisi catatan-catatan penting yang dapat disarikan dari Al Qur'an sesuai jalan kehidupan yang tengah dialami. Misalnya ketika Dr. Aidh al-Qarni membahas tentang bab jangan bersedih karena sebuah, beliau tak lupa menyisipkan ayat-ayat Al Qur'an yang membangkitkan semangat pembaca agar memandang musibah dan ujian dari sisi lain yang penuh hikmah. Selain menuliskan tips-tips agar segera bangkit dari kesedihan, Dr Aidh al-Qarni juga menyisipkan bunyi surat Az Zumar ayat 10 sebagai pengingat atas janji Allah terhadap orang yang sabar ketika ditimpa musibah.
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (QS Az Zumar : 10)
Menariknya lagi ketika Dr. Aidh al-Qarni melengkapi tulisan beliau dengan kisah-kisah di zaman Rasulullah dan dibandingkan dengan keajaiban ciptaan Allah yang bisa kita saksikan saat ini. Maka akan tumbuh perasaan takjub akan kebesaran Allah dan menumbuhkan semangat untuk terus menekuni ayat-ayat Allah yang terhampar di muka bumi. Seperti saat dr. Aidh Aal-Qarni mengisahkan riwayat Abu Ubaidah bersama para sahabat yang sedang menderita kekurangan logistik saat harus berperang melawan kaum Quraisy. Tiba-tiba pasukan sahabat Rasulullah ini menemukan bangkai hewan laut yang disebut "anbar" dan daging serta minyaknya bisa diolah menjadi dendeng. dr. Aidh al-Qarni melengkapi pemaparannya dengan berita tentang paus Norwegia yang terdampar dan berusaha dipamerkan di sebuah pameran. Berita tentang terdamparnya paus beserta gambaran ukurannya membuat pembaca terbawa imajinasinya membayangkan para  sahabat Rasulullah selamat dari kelaparan dengan memakan anbar. Bukankah semua bangkai hewan haram dimakan kecuali hewan laut? Maka timbul ketakjuban atas karunia Allah yang memberikan jalan keluar bagi para sahabat Rasulullah yang sedang berjuang dalam syi'ar Islam.
Satu hal lagi yang perlu digarisbawahi dari buku ini adalah di bagian akhir tulisannya, Dr Aidh al-Qarni melengkapinya dengan menulis poin-poin penting yang layak direnungkan dan dipikirkan oleh pembaca agar mampu menata hati sehingga menjalani hidup lebih bersyukur dan bahagia.