Dear Kampung halaman,
Bersama surat ini kukabarkan, aku baik-baik saja di perantauan.
Ah maaf, "perantauan" adalah  sebutan masa lalu. Saat aku masih kuliah hingga bekerja di kota yang terpisah.
Dan ketika aku pulang ke tempat aku dibesarkan, maka kusebut engkau sebagai rumah.
Namun kini, aku tinggal di rumahku sendiri. Aku tak merantau lagi meski jauh darimu dan kita tak lagi sering bertemu.
Dear Kampung halaman,
Meski frekuensi pertemuan kita tak sesering dahulu, bukan berarti aku melupakanmu.
Tempat yang menjadi saksi setiap hela nafasku selama kurang lebih dua puluh tahun-an. Sejak aku masih ingusan hingga aku bersiap merantau demi mewujudkan impian.
Bagaimana aku bisa lupa masa kecilku nan indah. Bertabur hadiah ketika meraih prestasi. Masa-masa ketika gobak sodor, bola bekel, congklak, benteng-bentengan menjadi hiburan sepulang sekolah hingga saatnya berangkat mengaji. Anak-anak zaman sekarang mungkin tak bisa merasakan keceriaan masa kanak-kanak kami dahulu, keseruan yang telah tergantikan oleh game online dan media sosial ini itu.
Bagaimana aku bisa lupa ketika Ramadan tiba grup patrol berkeliling menabuh botol, kentongan, panci dan berteriak "sahur sahur" setiap dini hari.
Bagaimana aku bisa lupa hari-hari di bulan Syawal sepulang dari rumah nenek, kami empat bersaudara membuka amplop angpau dengan wajah berseri-seri dan sebagian uangnya kami belikan kembang api.