Hari raya Idulfitri telah berlalu dan hari-hariku menghilang bersama bayangan tanpa kesan istimewa. Apakah karena berhari raya di rumah saja? Jika demikian alasannya bukankah berarti pertanda kurangnya rasa syukur di dada? Namun sejak dua tahun belakangan tak berlebaran di kampung halaman memang sangat terasa berbeda dari biasanya. Tak lagi bisa kutemui hal-hal yang kurindukan dari kampung halaman. Yang paling kurindukan adalah saat bercengkrama di teras rumah bersama Mama dan keluarga. Teras yang sangat nyaman untuk ngobrol di pagi hari saat matahari belum meninggi sambil menikmati secangkir teh atau kopi.
Tapi yang paling mengasyikkan adalah duduk bercengkrama di teras saat malam takbiran. Ngobrol tentang masa kecil, tentang keseruan anak-anak di sekolah, tentang harapan-harapan di masa depan. Sambil memandang langit yang berhias kembang api warna-warni. Suasana malam lebaran makin meriah dengan takbiran keliling santri TPQ masjid Al Ishlah, anak-anak muda karang taruna dan bapak-bapak yang berkenan meluangkan waktunya membunyikan berbagai alat musik sederhana, bambu, kayu, galon, kentongan, botol yang dipukul bergantian membentuk irama, mengiringi takbir "Allahu Akbar...Allahu Akbar...Allahu Akbar...." Begitu serunya berbincang-bincang hingga tak terasa waktu telah mendekati jam 9 - 10 malam lalu kami segera tidur agar bisa bangun keesokan hari dalam keadaan segar untuk mengikuti sholat Idulfitri. Rindu sekali masa-masa itu.
Usai sholat Idulfitri di masjid Al Ishlah dekat rumah kami biasa sungkem Mama untuk memohon maaf atas segala kesalahan. Lanjut ziarah ke makam Papa dan adik bungsu. Kemudian bersalam-salaman dengan tetangga sekitar. Duuh tak terasa perut keroncongan, hidangan opor ayam dan bakso telah menanti sebagai santapan lebaran. Kangen banget bakso favorit keluarga di kampung halaman. Gorengan crispynya yang menerbitkan selera, kuah kaldunya yang segar gurih tiada tara. Terkadang belum habis makanan di piring, tetangga datang bergantian untuk bersilaturahim dengan Mama sebagai salah satu yang dituakan. Dulu rasanya makan terburu-buru, sekarang kok merasa rindu.
Dua tahun belakangan lebaran kami tak lagi sama. Tak perlu lagi mudik ke kampung halaman. Andai kami berlebaran di kampung halaman yang ditemui hanyalah kesunyian. Lebaran tak lagi seperti dahulu, kini hanya menyisakan rindu sejak Mama meninggal dunia dua tahun lalu. Dan rumah beliau kini dikontrakkan. Padahal bertahun-tahun sebelumnya, sebelum ikutan mudik gratis sempat merasa capek naik turun angkutan dan bus umum berebut bangku untuk mudik hari raya. Pernah berujar "boleh ndak sih, nggak mudik pas lebaran, nunggu pas suasana udah tenang gitu, toh sebelum lebaran udah biasa pulang bahkan hampir tiap bulan"Â Tapi kini ketika takdir berkata, serasa ada yang hilang dan menyisakan hampa. Benar kata orang, sesuatu atau seseorang baru terasa berarti kehadirannya ketika ia tak lagi tiada.Â
Maka saya berdoa bagi yang masih punya orang tua, masih ada kampung halaman untuk dikunjungi agar dimampukan untuk memperlakukan mereka dengan sebaik-baiknya, merajut hal-hal membahagiakan sehingga meski kelak berpisah dan merindu maka yang tertinggal dalam kenangan adalah memori yang indah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI