Berpuasa arti dalam bahasa adalah menahan. Dan dalam berpuasa kita memang harus menahan hawa nafsu, hingga saatnya berbuka. Makan, minum, berhubungan suami istri adalah nafsu yang harus dikendalikan agar tidak dilakukan pada waktu antara terbit fajar hingga matahari tenggelam.Â
Kalau dilanggar, puasanya batal. Tetapi ada hal-hal yang jika dilakukan tidak membatalkan puasa, tetapi mengurangi kualitas puasa kita, yaitu menjaga hati dan emosi. Â Menahan hati agar tidak menyimpan syak wasangka. Menahan amarah karena situasi di luar harapan. Menahan kesedihan karena hal tak biasa.
Amarah, suatu hal yang harusnya ditahan dan dikendalikan. Tetapi praktiknya di Ramadhan kali ini saya mudah sekali naik darah gara-gara School From Home alias SFH.Â
Mulai dari drama si bontot yang lebih suka tidur dan bermain daripada mengerjakan tugas sekolahnya, jaringan internet yang kadang kurang stabil, hingga harus keluar lebih banyak biaya tak terduga untuk cemilan murid dadakan di rumah atau beli bahan prakarya. Padahal di situasi tak menentu karena pandemi, setiap pos harus diupayakan untuk dihemat sedemikian rupa.
Syak wasangka, suudzon..duh sulit sekali menahan diri untuk tidak berprasangka di masa pandemi. Â Mudah sekali curiga "jangan-jangan si X sumber penularan, carrier, OTG".
Dan saya pun harus ekstra waspada, uang sisa belanjaan dari pasar, uang pembayaran transaksi listrik, pdam dan pulsa dari tetangga sampai uang bulanan dari suami harus saya sterilkan. tidak tanggung-tanggung, dua kali: cuci di bawah air mengalir dengan sabun lalu disemprot disinfektan.Â
Sampai ketemu tetangga yang suaminya bekerja di rumah sakit jadi lebih berhati-hati, tenggorokan agak nggak enakan bawaannya curiga...jangan-jangan corona. Saya jadi bingung sendiri, apakah langkah saya ini termasuk kewaspadaan tingkat tinggi atau berburuk sangka dalam hati.
Bersedih atau menangis, memang tidak membatalkan puasa. Tetapi sulit bagi saya untuk tidak bersedih saat Ramadhan tahun ini. Biaya-biaya sekolah menanti, tagihan listrik dan air melonjak tinggi, kondisi keuangan belum stabil karena pandemi, ditambah kepikiran ibu yang tinggal di luar kota sendiri.Â
Pastinya saat Hari Raya nanti kami tak bisa berkumpul seperti biasa, sungkeman dan bercengkrama. Diam-diam saya sering mengalirkan air mata.
Dan kesedihan saya bertambah ketika hari ini sang maestro campursari, Didi Kempot meninggal dunia. Saya bukan fans beratnya yang hafal semua lagunya.Â