Mohon tunggu...
Dewi Handayani
Dewi Handayani Mohon Tunggu... Ibu Rumah Tangga -

Seorang wanita biasa yang beruntung karena didampingi ayah popeye, Aliong dan Aling yang luar biasa. Masih banyak yang harus dipelajari, terlalu banyak yang belum dipahami, sangat disayangkan kalau tidak mau berbagi... Learning by sharing...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemulihan Kepercayaan Diri Siswa Melalui Tutor Sebaya Dalam Pengajaran Remedial

14 Oktober 2017   01:56 Diperbarui: 14 Oktober 2017   02:02 1092
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Vonis tinggal kelas bisa menjadi tragedi kehidupan bagi seorang siswa karena menyangkut persoalan harga diri. Cap bodoh dan malas akan senantiasa melekat dan menyebabkan tekanan psikologis yang berat, seperti: malu hati, rendah diri, minder, merasa paling bodoh, dan merasa tidak disukai teman-temannya. Bagi siswa yang labil, ketidaknyamanan itu bisa menyebabkannya menjadi apatis, malas dan mudah putus asa. Seperti kanker, penyakit apatis akan cepat menyebar dan menggerogoti seluruh bagian tubuh hingga ke fikirannya. Bukannya memberi efek jera, hukuman tinggal kelas malah bisa berbalik membuat anak tidak percaya diri, patah hati dan akhirnya memilih untuk berhenti sekolah.

Tinggal kelas sebenarnya merupakan opsi terakhir bagi seorang siswa yang tidak memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) 3 mata pelajaran atau lebih, siswa yang kehadirannya dalam setahun di bawah 85% dari jumlah hari efektif, serta siswa yang sikap dan tingkah lakunya kurang baik di luar batas kewajaran. Itu pun setelah siswa tersebut mendapatkan peringatan dan melewati prosedur yang dilakukan pihak sekolah. Oleh karena itu, vonis tinggal kelas itu sebenarnya sudah bisa diprediksi dari jauh-jauh hari sebelum pengumuman kenaikan kelas berdasarkan penilaian yang dilakukan ketika proses pembelajaran berlangsung (dari aspek pengetahuan, sikap ataupun keterampilan).

Ketika gejala-gejala tinggal kelas sudah terdeteksi, yang perlu dilakukan adalah segera memulihkan kembali rasa percaya diri siswa untuk mengatasi kesulitan belajarnya. Pembelajaran perbaikan (remedial) harus segera dilakukan untuk membantu peserta didik mengatasi kesulitan terhadap penguasaan materi pada kompetensi dasar (KD) tertentu yang sedang berlangsung sebelum kesulitan belajar tersebut berubah menjadi penyakit apatis yang akut. 

Pada kenyataannya, banyak guru yang salah kaprah, remedial dilakukan ketika nilai ujian tidak mencapai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal), siswa didudukan kembali menghadapi soal ujian yang sama, lalu siswa pasrah melakukan sebisanya, dengan hasil yang lebih parah, dan ujung-ujungnya siswa (terpaksa) dituntaskan dengan nilai sesuai KKM.  Padahal guru dapat langsung melakukan pembelajaran remedial sesuai dengan kesulitan peserta didik tersebut, tanpa menunggu hasil ujian.

Setiap guru mengharapkan semua siswa didiknya dapat menguasai kompetensi yang telah ditentukan. Tapi pada kenyataannya, dalam proses belajar mengajar selalu dijumpai adanya anak yang berbakat, berkemampuan tinggi dan cepat menangkap pelajaran, dan ada pula yang sebaliknya, kurang berbakat, berkemampuan pas-pas-an dan lambat. Di samping itu, mereka memiliki latar belakang dan pengalaman yang berbeda-beda. 

Oleh karena itu, berdasarkan permendikbud No. 65 tentang Standar Proses, No. 66 thn 2013 tentang standar penilaian, setiap pendidik hendaknya memperhatikan prinsip perbedaan individu (kemampuan awal, kecerdasan, kepribadian, bakat, potensi, minat, motivasi belajar, gaya belajar). Atas dasar ini perlu ada perlakuan yang bersifat individual dalam proses belajar mengajar. 

Maka dalam hal ini, pembelajaran remedial dilakukan untuk memenuhi kebutuhan individual atau hak siswa. Bila siswa mendapat kesempatan belajar sesuai dengan kepribadiannya, diharapkan siswa tersebut dapat mencapai hasil belajar yang optimal.

Remedial berasal dari bahasa Inggris "remedy" yang artinya menyembuhkan. Pengajaran remedial adalah suatu bentuk pengajaran yang bersifat menyembuhkan, membetulkan atau membenarkan. Program pembelajaran ini diberikan kepada peserta didik yang belum mencapai kompentensi minimal dalam satu kompetensi dasar tertentu. Penanganan yang tidak tepat dapat menyebabkan siswa hidup dalam tekanan dan stress. 

Stress dapat menyebabkan penurunan enegi yang tersedia bagi otak secara signifikan, menyebabkan kehilangan daya ingat, sehingga apapun informasi yang disampaikan akan susah untuk dicerna dan sulit untuk dipahami. Dengan kata lain, yang disembuhkan atau yang dibetulkan di sini adalah beberapa hambatan atau gangguan kepribadian yang berkaitan dengan kesulitan belajar sehingga dapat timbal balik dalam arti perbaikan belajar juga perbaikan pribadi dan sebaliknya.

Pembelajaran remedial dilaksanakan di luar jam pelajaran efektif atau ketika proses pembelajaran berlangsung. Guru berperan sebagai instruktur, konselor, petugas psikologis, sebagai media, sebagai sumber, dan sebagainya. Guru membantu siswa, untuk memahami kesulitan belajar yang dihadapinya, mengatasi kesulitannya tersebut dengan memperbaiki cara belajar dan sikap belajarnya. Teknik pembelajaran remedial bisa diberikan secara individual maupun secara berkelompok. Strategi pembelajaran yang digunakan dapat bervariasi sesuai dengan sifat, jenis, dan latar belakang kesulitan belajar yang dialami. 

Menurut Suharsimi Arikunto (2002) dalam bukunya Pengelolaan Kelas dan Siswa, adakalanya seorang siswa lebih mudah menerima keterangan yang diberikan oleh kawan sebangku atau kawan yang lain karena tidak adanya rasa enggan atau malu untuk bertanya, guru dapat meminta bantuan kepada siswa yang lebih tinggi kemampuannya untuk menerangkan kepada kawan-kawannya. Pelaksanaan ini disebut tutor sebaya karena mempunyai usia yang hampir sebaya.

Bahkan Anita Lie (2004) dalam bukunya Cooperative Learningmenyatakan bahwa pengajaran oleh tutor sebaya ternyata lebih efektif dari pada pengajaran oleh guru. Hal ini disebabkan latar belakang dan pengalaman para siswa mirip satu dengan lainnya dibanding dengan guru. Penjelasan tutor sebaya kepada temannya mungkin lebih bermakna dibandingkan guru, karena siswa melihat masalah dengan cara yang berbeda dibandingkan orang dewasa dan mereka menggunakan bahasa yang lebih akrab dan sederhana sehingga mudah dipahami teman-temannya.

Dalam sebuah studi penelitian eksperimen, Fawcett & Garton (2005) menyelidiki dampak interaksi sosial kolaboratif terhadap kemampuan anak untuk menyelesaikan masalah. Ditemukan bahwa anak-anak yang berkolaborasi mengalami kenaikan skor dalam tugas memilah secara signifikan lebih tinggi daripada anak-anak yang bekerja secara perorangan. Namun kenaikan skor lebih tinggi lagi diperoleh anak-anak yang harus saling berbicara dengan rekannya tentang tugas tersebut dalam kolaborasi. Ini menggarisbawahi pentingnya bahasa sebagai alat kognitif bagi belajar dan perkembangan dan nilai interaksi dengan teman sebaya bagi pertumbuhan kognitif.

Inti dari strategi pembelajaran tutor sebaya ini adalah pembelajaran yang pelaksanaannya dengan membagi kelas dalam kelompok--kelompok kecil, yang sumber belajarnya bukan hanya guru melainkan juga teman sebaya yang pandai dan cepat dalam menguasai suatu materi tertentu. Dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen, siswa yang pandai mengajari yang lemah, siswa yang tahu memberitahu yang belum tahu, siswa yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat, siswa yang mempunyai gagasan segera memberi usul dan seterusnya. 

Teori perkembangan Piaget memperkuat pendapat di atas, yakni perkembangan kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif anak dengan lingkungan. Pengetahuan datang dari tindakan. Interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya berargumentasi dan berdiskusi membantu menjelaskan pemikiran yang pada akhirnya memuat pemikiran itu lebih logis (Trianto, 2007).

Sejalan dengan itu, dalam teori konstruktivis sosial Vygotsky meyakini bahwa anak-anak mengembangkan cara berpikir tentang dunia yang secara kualitatif berbeda berdasarkan interaksi aktif dan termotivasi dengan lingkungan. Namun ia meyakini bahwa perkembangan kognitif didasarkan pada interaksi-interaksi sosial, bukan penjelajahan individu terhadap lingkungan. Peralatan budaya seperti bahasa penting bagi perkembangan ini. Keyakinan ini tercermin dalam zona perkembangan proksimal (ZPD), yang mengacu pada potensi perkembangan belajar anak. 

Dalam bukunya "Psikologi Perkembangan" Penney Upton (2012) memaparkan ZPD sebagai representasi jarak antara tingkat perkembangan actual dan potensial anak. Tingkat pekembangan actual anak ditentukan oleh penyelesaian masalah secara mandiri, sedangkan tingkat perkembangan potensial ditentukan oleh penyelesaian masalah yang dapat mereka capai dengan instruksi dari orang dewasa atau teman sebaya yang lebih pandai. Anak-anak mengembangkan cara baru dalam berpikir dan menyelesaikan masalah dengan bekerja bersama orang lain yang lebih pandai dalam tugas-tugas yang berada dalam zona ini.

Agar belajar dapat terjadi, guru harus bekerja dalam zona perkembangan proksimal (ZPD). Kemajuan melalui zona ini dijabarkan dalam empat tahap:

Tahap 1:  Kinerja dibantu secara langsung oleh orang lain yang lebih mampu melalui perancahan, yaitu proses di mana seorang guru atau teman sebaya yang kompeten membantu pembelajar dalam suatu tugas dalam ZPD sesuai kebutuhan pembelajar. Tujuannya adalah menyederhanakan suatu tugas sehingga dapat diselesaikan dan mendorong serta memotivasi pembelajar untuk terlibat dan menyelesaikannya. 

Agar efektif, bantuan yang diberikan harus sesuai kebutuhan pembelajar dan harus dihentikan bila tidak lagi diperlukan. Pada tahap awal keterlibatannya dalam tugas baru pembelajar dapat memperoleh manfaat dengan diberi petunjuk apa yang harus dilakukan (pencontohan atau demonstrasi) atau instruksi langsung. Seiring mereka bergerak melalui zona tesebut, bantuan dapat menjadi semakin tidak langsung dan melibatkan hal-hal seperti mengajukan petanyaan-pertanyaan untuk membantu pembelajar mencapai solusinya sendiri.

Tahap 2:  Melibatkan pembimbingan oleh diri sendiri seiring pengambilalihan peran guru oleh pembelajar dalam proses belajar mereka sendiri. Ini dapat berupa tindakan berbicara kepada diri sendiri di sela mengerjakan tugas tersebut, mengingat instruksi-instruksi yang diberikan sebelumnya, dan sebagainya.

Tahap 3:  Kinerja menjadi otomatis

Tahap 4: Sumber-sumber stress (contohnya keletihan) atau perubahan-perubahan kondisi tetap dari suatu tugas dapat membuat kita merasa tidak nyaman, sehingga kita mundur ke tahap awal proses. Contohnya ketika kita lelah, kita mungkin merasa bahwa tugas yang kita kerjakan menjadi jauh lebih sulit dan harus bergantung pada diri sendiri untuk menyelesaikan tugas secara memuaskan.

Selanjutnya, untuk menjadi tutor sebaya, tidak harus siswa yang paling pandai. Menurut Suharsimi Arikunto dalam ada beberapa persyaratan peting yang harus dimiliki seorang tutor sebaya, yaitu:

1) Dapat diterima oleh siswa yang mendapat program perbaikan sehingga siswa tidak mempunyai rasa takut atau enggan untuk bertanya kepadanya.

2)   Dapat menerangkan bahan-bahan materi yang dibutuhkan siswa yang berkesulitan

3)   Tidak tinggi hati atau keras hati terhadap sesama teman.

4)   Mempunyai daya kreatifitas yang cukup untuk memberikan bimbingan kepada temannya.

Selanjutnya, hal yang perlu dipersiapkan guru dalam pembelajaran dengan tutor sebaya menurut Suharsimi Arikunto adalah:

1)   Mengadakan latihan bagi para tutor.

2)   Menyiapkan petunjuk tertulis.

3)   Menetapkan penanggung jawab untuk tiap-tiap kelompok agar apabila terjadi ketidakberesan guru dengan mudah menegurnya.

4)   Apa yang dilakukan oleh guru selama program perbaikan berlangsung guru selalu memegang tanggung jawab dan memainkan peran penting.

Tutor sebaya merupakan salah satu dari strategi pembelajaran yang berbasis active learning, yang pada dasarnya menuntut adanya partisipasi aktif dari peserta didik dalam proses pembelajaran yang dilakukan. Selama ini, metode belajar yang dianggap paling baik adalah belajar untuk melakukan sesuatu (learning todo), salah satu implementasinya adalah dengan mengajar teman sebayanya. Sehingga siswa dianggap benar-benar menguasai pelajarannya hanya apabila siswa mampu mengajarkannya pada peserta didik lainnya. 

Dengan menjadi tutor sebaya, siswa difasilitasi untuk mengaktualisasikan kompetensi, bakat dan minat yang dimilikinya. Selain itu, siswa juga diberikan kesempatan dan didorong untuk mempelajari sesuatu dengan baik, dan pada waktu yang sama ia menjadi narasumber bagi yang lain. Tutor Sebaya akan merasa bangga atas perannya dan juga belajar dari pengalamannya serta apa yang telah dipelajari dan diperolehnya atas tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Hal ini secara tidak langsung dapat memperkuat citra dan jati dirinya sebagai individu yang berkualitas, mandiri dan dapat dihandalkan.

Di sisi lain, siswa yang diajar merasa mendapatkan perhatian lebih, persahabatan, keakraban, kasih sayang, kepercayaan, dan penghargaan dari tutor sebayanya. Mereka bisa membangun kepercayaan dirinya kembali, melihat sisi positif dan potensi yang mereka miliki, sehingga ketika mereka belajar dengan tutor sebaya, siswa bisa mengembangkan kemampuannya yang lebih baik untuk mendengarkan, berkonsentrasi, dan memahami apa yang dipelajari dengan cara yang bermakna.

Singkatnya, tutor sebaya merupakan salah satu strategi pembelajaran remedial dengan pendekatan kooperatif bukan kompetitif. Sebaiknya guru tidak ragu menggunakan strategi pembelajaran ini karena sangat efektif untuk membangun kelompok sosial yang saling asah, asih, asuh penuh percaya diri, mempunyai kedisiplinan dan komitmen berperilaku positif yang dibina antara siswa yang belajar dan bekerja sama.

Daftar Pustaka:

  • Anita Lie Hidayati, Cooperative Learning,(Jakarta: Grasindo, 2004)
  • Fawcett & Garton, The Effect of Peer Collection on Children Problem-Solving Ability, ( British Journal of Education Psychology, 2005) 
  • Penney Upton, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga, 2012)
  • Suharsimi Arkunto, Pengelolaan Kelas dan Siswa,(Jakarta: Rajawali, 2002)
  • Trianto, Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun